ERKINITEKEN RAS ERBUDAYA[1]
(Beranjak dari sejarah
Kontekstualisai sampai Pelaksanaanya di GBKP)
Oleh: Jhoni Pranata Purba
Apabila membicarakan Injil dan Kebudayaan maka pertama-tama
harus disadari bahwa pokok ini merupakan suatu tema klasik di dalam pergumulan
iman Kristen, ketika pertama kali Kekristenan itu tampil ke panggung sejarah
dunia, dan semakin marak lagi ketika di era tahun 1970-an dimunculkan istilah
“Kontekstualisasi” kata
“kontekstualisasi” pertama kali muncul dalam terbitan TEF (1972) yakni
Theological Education Fund ( Dana Pendidikan Teologi). TEF dimulai oleh
Internationnal Missionary Council pada persidangan di Ghana 1957-1958. Pada tahun 1961 International Missionary
Council bergabung dengan DGD . dan hasil dari gabungan ini terbentukklah
Division Of World Mission and Evangelism dari DGD, yang pada pertemuan yang
pertama di Mexico City (1963) memberi mandat yang kedua kepada TEF “memikirkan
kembali” (1965-1970). Tujuannya agar meningkatkan jenis pendidikan teologi
Dunia Ketiga yang akan menghasilkan “ suatu perjumpaan yang sesungguhnya antara
mahasiswa dan Injil dengan memakai bentuk-bentuk pemikiran dan kebudayaanya
sendiri, dan dialog yang hidup antara jemaat dan lingkunganya.
Pada tahun 1969, terbentuk kelompok
penasehat baru bagi TEF, yang mengusulkan bahwa TEF, diberi mandat yang ketiga,
“memperbaharui”. Ketua TEF pada masa mandat ketiga adalah Karekin Sarkissian,
seorang Uskub Gereja Ortodoks Armeria dan dibantu den gan beberapa rekan dari
berbagai negara.[2] Para pelaksana mandat ketiga ini ditugasi
“untuk menolong jemaat-jemaat memperbaharui pendidikan calon-calon pelayan
Kristen ” dengan memberikan bantuan khusus sementara dan
pelayanan-pelayanan konsultasi kepada
lembaga lembaga pendidikan teologi dan pusat-pusat latihan lainnyaTujuan utama
pekerjaan TEF ialah agar Injil di ungkapkan dan pelayanan dilakukan dengan
sebagai tanggapan kepada:
§ Krisis
Iman yang meluas
§ Masalah-masalah
keadilan sosial serta pembangunan manusia; dan
§ Ketegangan
antara situasi-situasi budaya dan agama setempat dan peradapan teknologis yang
universal. .[3]
Kontekstualisasi,
sebagimana didefenisikan oleh komite dana pendidikan teologi (Theological
Education Fund, TEF, kini diubah menjadi program untuk pendidikan Teologi),
ialah “kemampuan memberikan tanggapan yang bermakna terhadap injil dalam
kerangka situasinya sendiri”, rumusan
pernyataan yang bersejarah dari TEF, yang menginplementasikan Mandat
ketiga komisi dana tersebut, menunjukkan kebenaran dasar yang terkandung dalam
konsep lama “pempribumian” masi tetep dipertahankan dalam konsep yang lebih
baru. Yaitu, gagasan untuk membiarkan Yesus merasa betah dalam situasi dan
tempat khusus tertentu, dan membiarkan injil berakar dalam lingkungan khas
tertentu. Namun kontekstualisasi bergerak melampaui keterbatasan
“pempribumian”, sebagian disebabkan karena “pempribumian” mengesankan sekadar
adaptasi belaka pada penafsiran Barat datas Injil.[4]
Kontekstualisasi berkaitan dengan cara bagaimana kita menilai kekhasan konteks
Dunia Ketiga. Pada hakekatnya “pempribumian” cenderung dipakai sebagai
tanggapan atas Injil dalam pengertian Budaya
Tradisional.
“Injil yang membumi” sebagai
gambaran dari ‘jati diri baru’ gereja merupakan hal yang penting dalam mengenal
dan memahami Allah bagi gereja dan orang Kristen. Sering sekali istilah “Injil
yang membumi” dihubungkan dengan kontekstualisasi.
Seperti diketahui bahwa memasuki abad ke
XX, terutama sesudah Perang Dunia II, kesadaran
tentang pentingnya peran konteks dalam berteologi menjadi perhatian khusus
gereja-gereja secara umum dan
lembaga-lembaga pendidikan secara khusus.[5]
Dan sebagai puncak dari perhatian ini adalah dengan lahirnya istilah Teologi Kontekstual pada pertemuan Theological Education Fund (TEF) tahun
1972, yang disampaikan oleh Shoki Coe.[6]
Lahirnya istilah ini memunculkan pandangan baru di dalam berteologi, khususnya
bagi gereja-gereja di Asia. Gereja-gereja Asia semakin menyadari bahwa perhatian terhadap konteks di mana gereja-gereja itu hidup merupakan kebutuhan yang mendesak.
Dari waktu ke waktu gereja-gereja semakin menyadari bahwa gereja membutuhkan pengenalan
yang lebih mendalam akan jati diri
barunya sebagai gereja yang hidup di tempat tertentu sekaligus sebagai bagian
dari gereja universal. Sehingga muncullah usaha-usaha kontekstualisasi yang
menggali teologi konteks Asia, beberapa diantaranya adalah Teologi Minjung
(Korea), Teologi Kerbau (Kosuke Koyama), Teologi Dalith (India).[7]
Munculnya
teologi kontekstual pada satu sisi semakin memantapkan gereja dalam mewartakan
misi Allah dalam suatu wilayah dengan konteksnya. Namun pada sisi lain muncul
pendapat-pendapat yang menentang usaha penggalian teologi kontekstual,
khususnya dalam hal ke-otentik-an dan
ke-absah-an instrument teologi. Hwa Yung dalam bukunya Mangoes or Bananas (sebuah pertanyaan terhadap keotentikan Teologi
Kristen Asia) menyimpulkan bahwa Teologia Kristen Asia seperti buah mangga dan pisang. Di mana mangga adalah
gambaran buah asli Asia, berkulit kuning dan isi dalamnya juga kuning. Berbeda
dengan pisang yang berkulit kuning tapi
isinya putih. Mangga adalah simbol keotentikan dan pisang tidak otentik. Justru
Teologi Kristen Asia yang ada saat ini adalah seperti pisang, dan bukan mangga.[8]
Kekristenan pada masyarakat suku Karo telah
diperkenalkan pertama sekali oleh misionaris-misonaris pendahulu, yang dimulai
sejak tahun 1890 melalui kehadiran tim misionaris perdana yang dipimpin oleh
Pdt. H.C Kruyt dan rekan-rekan sepelayanan dari Nederlandsch Zendeling
Gnootschap (NZG) di Buluh Awar. Benih awal pemberitaan Kabar Baik itu lah yang
menjadi cikal-bakal berdirinya Gereja Batak Karo Protestan atau yang lebih
dikenal dengan nama Gereja GBKP. Seiring dengan perjalanan waktu, GBKP pun
berproses dalam pengembangan teologinya. Dari sejak awal berdirinya GBKP dan
mau tidak mau di dalamnya melekat satu identitas lokal dimana unsur
ke-karo-annya adalah sebuah ciri dan konteks dari GBKP. Sejalan dengan
perkembangan teologia kontekstual diberbagai belahan dunia, gereja-gereja di
Asia, Afrika dan Amerika Selatan, maka GBKP pun telah mulai berproses dalam
pencarian teologi yang kontekstual bagi dirinya, dan hal ini terus dan masih
terus dilakukan sesuai dengan amanat Sidang Sinode GBKP 2000 yang lalu. Dalam pencarian
dan penggalian teologia yang kontekstual bagi GBKP, aspek budaya merupakan
salah satu hal yang perlu mendapat perhatian yang besar. Hal ini mengingat
mayoritas jemaat GBKP adalah masyarakat Suku Karo yang masih terikat erat
dengan budaya Suku Karo yang ada pada mereka. Masyarakat Suku Karo dan
budayanya adalah ibarat dua gambar di dua sisi pada satu mata koin.
Keduanya saling melekat dan tak terpisahkan sehingga saling melengkapi dan
mampu memberikan nilai dan arti satu dengan yang lain. Melalui tulisan singkat
ini, penulis mencoba untuk melihat satu bagian dari pendekatan budaya yang
menjadi kebiasaan pada Suku Karo dalam upaya pengkontekstualisasian dan
pengembangan teologia kontekstual bagi GBKP. GBKP adalah Gereja yang dibentuk dan dikhususkan
bagi orang Karo. Sehingga GBKP dikenal sebagai gereja yang mewartakan misi Allah sekaligus juga gereja yang hidup
dan melestarikan budaya Karo. Misi Allah
yang berkarya dalam budaya Karo merupakan sebuah pergumulan sekaligus aset
terbesar dalam kehidupan GBKP hingga saat ini, terutama di dalam melahirkan dan
mengembangkan Teologi Kontekstual Karo. Usaha-usaha yang dilakukan GBKP dalam
menggali teologi kontekstual dapat dikatakan telah berkembang dengan baik.[9]
Namun dalam kehidupan jemaat terjadi praktik-praktik sinkretisme dan
lunturnya nilai-nilai budaya Karo.[10]
adapun budaya yang mau saya kaji adalah mengenai ADAT PENABALAN NAMA DALAM
MASYARAKAT KARO
Sebuah
pepatah mengatakan “Apalah arti sebuah nama?” Kata ini seolah mengatakan bahwa
nama itu tidak terlalu penting bagi seseorang. Tetapi dalam kenyataan terlihat
nama seseorang sangat berperan penting dalam kehidupan orang tersebut karena
nama itu menunjukkan siapa dirinya seutuhnya. Ketika sebuah nama disebut, maka
gambaran mengenai karakter, kepribadian, sifat, perilaku dan segala perbuatan
orang tersebut terbayang dibenak orang yang mengenalnya. Jadi nama bukan hanya
sekedar nama, melainkan menjadi tanda pengenal atau pemberi identitas sekaligus
eksistensi (keberadaan) seseorang dalam sebuah keluarga, suku, ataupun bangsa
bahkan di seluruh dunia. Di dalam nama tersebut hidup suatu sejarah, baik
dahulu, sekarang dan masa depan.[11]
Dale Carnegie mengatakan, “suara yang paling merdu di dunia adalah nama
seseorang”.
Dalam
Kamus Karo Indonesia kata “adat” diartikan sebagai bicara, kebiasaan, adat ini
sebenarnya merangkup lapisan kehidupan seperti agama peradilan, hubungan
keluarga kehidupan dan kematian.[12]
Adat juga diartikan sebagai kebiasaan yang sudah dilakukan berulang-ulang,
turun-temurun dan bersifat mengikat, normatif, dan tidak bisa dihindarkan baik
perorangan maupun masyarakat. Adat juga sebagai tatanan hidup yang telah
dilaksanakan berulang-ulang dan telah diwariskan kepada generasi penerus.[13]
Sedangkan pengertian “nama” di dalam Kamus Karo Indonesia, yaitu kata untuk
menyebut atau memanggil orang. Nama dalam bahasa Karo adalah gelar.[14]
Masyarakat
Karo sudah mentradisi jika ada anak yang lahir maka anak beru langsung mendatangi seorang dukun untuk menanyakan
bagaimana masa depan anak tersebut, sesuai dengan hari dan jam anak tersebut
lahir. Hal ini dilakukan, apakah anak tersebut membawa rejeki atau membawa
sial. Karena menurut kepercayaan masyarakat Karo, ada hari dan jam yang baik,
ada yang kurang baik dan sama sekali tidak baik.[15]
Untuk itu jika hari dan jamnya baik tidak ada persoalan, tapi jika kurang baik,
maka sang dukun akan memperbaikinya dengan membuat beberapa acara atau
persyaratan, seperti dengan memberikan jimat dan menetapkan nama anak yang
lahit tersebut supaya anak tersebut membawa berkat. Sedangkan jika memang hari
dan jam anak itu lahir tepat pada hari dan jam yang sama sekali tidak baik maka
sang dukun juga tidak dapat mengubahnya menjadi baik. Untuk anak yang seperti
ini biasanya akan di bunuh karena dianggap membawa sial, jika keluarga tidak
sampai hati untuk membunuhnya dengan sengaja maka anak tersebut akan
ditempatkan di bawah kolong dan tidak disusui supaya mati.[16]
Inilah hari yang menjadi pedoman dan petunjuk bagi masyarakat Karo, mereka
selalu pergi untuk menemui seorang dukun yang mereka sebut “guru simeteh ngoge wari si telu puluh”.
Dalam
memberikan nama (erbahan gelar) bagi
bayi yang baru lahir, Kalimbubu
datang dan bermusyawarah tentang nama yang akan diberikan kepada bere-bere (keponakannya). Setelah mereka
menemukan nama yang dianggap baik, maka mami
(isteri paman) bayi tersebut mengambil beras sejemput (diambil dengan cara lima jari) dengan doa: “Enda kutotoken man Dibata rebahan gelar
beberengku enda” (sekarang aku berdoa kepada Tuhan untuk membuat nama
keponakanku ini). kalau nanti serasi genap nanti beras ini dengan tanganku yang
kanan dan semoga yang di tangan kiri ganjil. Sesudah itu dia mengambil lagi
beras dengan ujung jari (njemput) dan
terus menghitungnya dan ternyata genap bilangannya. Oleh karena itu dia berdoa
sekali lagi. Jangan berbohong katakan yang sebenarnya, katakan serasi atau
tidak. Kalau serasi, nanti ganjil di tangan yang kiri. Sesudah itu dia
mengambil beras dengan jarinya dengan menggunakan tangan kiri serta
menghitungnya, ternyata setelah dihitung bilangannya genap. Seandainya belum
tepat seperti doanya maka terus diulangi dengan berganti-ganti mengatakan
sebelah mana yang genap dan yang ganjil, sampai akhirnya tepat seperti yang ia
sebutkan.[17] Setelah
tepat jumlahnya genap dan ganjil seperti isi doanya maka ia mengatakan kepada
ibu si bayi (beru): “Enda enggo kupadi-padiken gelar anakndu
enda. Enggo padi gelarna si Missio. Ma enggo siakap mehuli kerina?”
Pertanyaan tersebut dijawab suaminya dan semua keluarga: “Bage! Enggo mehuli.” Maka nama bayi tersebut sudah resmi si Missio.
Juga jika anak itu perempuan, maka yang melakukan acara tersebut adalah bibina (saudara perempuan dari ayanh
anak tersebut).[18]
Sesudah
Kristen pemberian nama tersebut bisa saja diteruskan seperti adat Karo oleh kalimbubu, tapi ada juga sudah
disediakan ibu bapa si bayi dan diberikan kepada kalimbubu, serta sangkep
geluh. Nama tersebut tidak lagi dihubungkan dengan pengertian magis-mistis
animisme. Tidak dilakukan melihat “rasin”
nama, tidak dilakukan “ipadi-padiken”
sebab orang Kristen telah menerima semangat dan pengertian baru, bebas dari
paham magis-mistis-animisme. Orang Kristen berpikir mendasar dalam menentukan
nama dan semua nama ada artinya, dipilih nama yang baik untuk mengungkapkan
harapan atau sejarah dan lain-lain, bisa dipilih nama-nama orang Karo yang
seperti Kongsi, Ukur Meriah, Perpulungen, dan lain-lain. Dan bisa nama yang
berlatar-belakangkan Alkitab seperti: Christian, Joy Nathanael, dan lain-lain.
Dan sewaktu memberikan nama tersebut dilakukan sebagai doa pertemuan keluarga
dan doa disampaikan kepada Allah dalam nama Tuhan Yesus Kristus.[19]
Dalam
penabalan nama itu semua tergantung keyakinan[20],
apapun kalau yakin itu baik. Namun ada juga yang tidak serasi, sebagai
contoh:ketika anak-anak itu bernama Kolam, namun ketika dia sering sakit
sehingga diganti namanya jadi Tingger, ternyata ia jadi sehat. Namun semua itu
bukan suatu kepastian karena ada juga yang sudah diganti namanya berkali-kali
namun tidak ada perubahan. Dahulu hal ini tinggi persentasenya berhasil. Namun
kini sudah jarang dilakukan karena masyarakat Karo pada umumnya sudah tidak
tahu untuk melaksanakan ritual penabalan nama, juga sudah punya kepercayaan
bahwa makna nama itu tidak mempengaruhi kesehatan dan kelakuan pemilik nama
tersebut.
Penabalan nama dalam
GBKP masih jauh ketinggalan dengan Gereja HKBP, hal ini terlihat ketika
dilakukan baptisan bagi anak-anak, karena di HKBP setiap anak anggota jemaat
yang lahir, dalam beberapa minggu langsung di baptis dan di situlah penabalan
nama bagi anak tersebut. sedangkan di GBKP pada umumnya sudah dijadwalkan acara
pembaptisan bagi anak-anak, sehingga ada anak yang sudah lama punya nama baru
di baptiskan.
Penabalan dan
pergantian nama pada masyarakat Karo pada umumnya dilakukan oleh masyarakat
yang belum beragama Kristen, namun masih ada juga beberapa dari jemaat yang
masih melakukannya. Para pihak pemberi nama juga tidak merasa tersinggung jika
tidak ikut dalam acara ritual penabalan nama. Yang sering terjadi, orangtua
telah lebih dahulu memberikan nama kepada anaknya. Karena nama bukan
mempengaruhi kesehatan bagi pemilik nama, jika sakit ada rumah sakit untuk
tempat berobat dan di doakan agar sembuh. Menurut kepercayaan bahwa segala yang
tidak baik dalam kehidupan bukan tergantung kepada nama bagi pemilik nama, tapi
ada rencana Tuhan yang lebih indah dalam hal tersebut. karena pada awalnya
pergantian nama dianggap punya sugesti karena memang begitu keyakinan pada masa
itu.
Setelah kita melihat
bagaimana observasi budaya dalam suku Karo maka tidak ada salahnya bagaimana
kita melihat bagaimana adat itu di terjemahkan oleh bebrapa ahli adat Batak
dalam perkembanganya. Ini juga bisa menjadi bandingan bagi kita supaya lebih
memahami adat dan injil
Adat
merupakan pokok perhatian buat persekutuan-persekutuan kampung di Tanah Batak.
Namun seiring datangnya agama Kristen telah membuat keberlakuan dan kekuasaan
adat begitu diragukan. Beberapa tokoh mencoba untuk menghidupkan kembali nuansa
adat dalam kehidupan orang Batak seperti Raja Patik Tampubolon, Haeman
Badurahim Siahaan, Guru Washington Hutagalung. Ketiganya debesarkan sebagai
anggota gereja Batak, mereka adalah orang Batak yang sungguh-sungguh.
1.
Raja
Patik Tampubolon dan usahanya untuk menciptakan suatu pandangan dunia batak
yang baru.
Bagi
Tampubolon adat itu sulit untuk diterangkan. Namun adat itu dapat diterangkan
dengan memperhatikan : (a) Hubungannya dengan “undang-undang dan hukum”, (b)
Sifatnya yang ilahi, (c) Kelakuan yang etis, dan (d) Persekutuan yang
genealogis.
Adat
undang-undang dan hukum batak bukanlah agama. Agama adalah kata yang jelek yang
berasal dari orang asing bukan kata batak dan tidak ada agama batak. Mengenai
asal mula adat ia berkata:”Adapun pangkal adat hanya satu, Tuhan
Mulajadinabolon-Keadilan dan Kebenaran”. riwayat hidupnya saja sudah berharga
untuk dipelajarai seperti:
1. Dari
penginjilan simalungun sampai menjadi pemimpin kumpulan si raja Batak.
2. Pustaha
Tumbaga holing dan terjadinya.
3. Bentuk
dan isi tumbaga itu.
4. Pengertian
tampubolon tentang adat
5. Pengaruh
alkitab dan inkretisme
6. Mengenai
hubungan adat dan agama
2.
Washington
Hutagalung: Adat sebagai tertib kehidupan yang sesuai dengan zaman dalam
gereja.
Hutagalung
berdiri diatas dasar agama Kristen serta menerima gereja. Mengenai merosotnya
adat, ia memberikan suatu gambaran yang didalamnya unsur-unsur mitologis,
historis dan normatif terlihat terjalin satu sama lain. pemeliharaan kesukuan
Batak oleh zending Eropa diingatkannya sebagai teladan. Hutagalung mengatakan
bahwa kebudayaan Eropa tidak merusakkan kebudayaan anak negeri melainkan
memperbaikinya. Yang menjadi pusat karya Hutagalung bukanlah undang-undang dan
hukum sebagaimana pada Tampubolon, melainkan marga. Marga itu adalah suatu
warisan yang berharga dan tidak dapat hilang. Marga itu merupakan dasar, baik
buat persekutuan yang hidup maupun buat kepentingan-kepentingan rohani. Menurut
Hutagalung, adat itu ditanamkan oleh nenek moyang. Akan tetapi sikap kritis
terhadap kepercayaan nenek moyang ditiadakan lagi melalui pepatah : adat
kebiasaan nenek moyang, tata ilahi buat cucu untuk dipelihara setap hari supaya
Mulajadinabolon memberi kebahagiaan. Adat itu adalah suatu cabang kebudayaan
dan oleh sebab itu haruslah menyesuaikan diri dengan waktu yang menguasai
segala-galanya. Suatu unsur dasar dalam konsepsi Hutagalung tentang adat adalah
kemajemukan atau pluralitas karena titik tolaknya adalah marga. Hutagalung
memperhatikan adat yang nyata dan sosial. Menurut Hutagalung adat dengan agama
Kristen bukanlah dua hal yanng bertentangan, melainkan sebagai yang bergabung. Kekafiran
orang Batak adalah pelopor kepada Kekristenan. Dan bisa dikatakan ideologi
kekafiran orang Batak sangat dekat dengan dogma orang Kristen. Kehidupan
masyarakat Batak-purba telah memiliki suatu sifat khas yang mirip dengan agama
Kristen, suatu sifat yang paling kena apabila dipahami sebagi takut kepada
Allah. hubungan adat dengan agama Kristen tidak hanya dilihat dalam persamaan
dan kontuinitas keberagamaan. Adat merupakan dasar perkawinan dan diatasnyalah
agama membangun, adat itu mempertahankan tetapi yang menentukan pemakaiannya
adalah agama Kristen.
Tentang
hubungan dengan Allah dan nama Allah, ia selalu memakai kata dewa yang
berbahagia atau Mulajadinabolon. Hutagalung tidak meliat pertentagan dengan hal
ini yakni bawa dalam lingkungan agama Kristen adat berbicara tentang Allah
dengan berbagai sebutan lain daripada yang dipakai oleh iman, yaitu iman
Kristen. Hutagalung menguatkan pepatah yang mengungkapkan suatu keinginan atau
keinginan yang diungkapkan secara bebas : kiranya hal itu direstui oleh dewa
yang berbahagia dan mulia. Kiranya hal itu direstui oleh kuasa sakti kumpulan
kita ini. Rumusan ini berisi harapan agar ada kerjasama antara dewata dan
kekuatan supraalamiah persekutuan adat yang berkumpul. Jadi menurut Hutagalung
kekristenan Hutagalung mengenal pertemuan dengan Allah yang hidup yang mengajar
manusia untuk memahami penderitaannya sebagai berkat dalamm Yesusu Kristus
sehingga ia menerimanya. Disini menjadi nyata dan jelas batas antara kehidupan
dalam adat dnegan kehidupan kepercayaan Kristen. Hutagalung memberikan nama-nam
dewa Batak-purba itu yakni pendapatnya tentang tempat adat perkawinan. Menurut
Hutagalung zaman sekarang adalah masa waktu peralihan berarti hubungan adat
dengan kekristenan.
3.
H.B.Siahaan:
Adat dan Agama Kristen sebagai dua hal ayang saling melengkapi.
Menurut
pandangan Siahaan, “keteguhan adat yang baik dan hukum yang baik di
tengah-tengah kita merupakan sumber berkat yang datang dari dewata yang mulia
dan berbahagia”. Bagi Siahaan, Adat itu adalah konvesi sosial, sebagai “suatu
jalan” untuk membimbing orang-orang kepada sikap bijaksana, kesopanan, dan
persekutuan baik”. Oleh karena itu Siahaan berharap, walau dengan adanya agama,
adat tidak boleh hilang selama itu sesuai dengan zaman dan ajaran Kristen. Tapi
Siahaan juga tetap pada pendiriannya untuk “mempertahankan adat”. Pemahaman
yang dibangun oleh Siahaan juga menumbuhkan sikap “relativisme”. Karena ia
mengatakan “upacara yang baik harus dipertahankan, dan yang melawan
kekristenan jangan dilakukan”, tetapi mengenai apa yang baik dan tidak baik,
Siahaan tidak menjelaskan. Ia hanya ingin untuk menghapuskan perselisihan
diantara keduanya. Cara berpikirnya adalah “agama Batak-purba”.[21]
Berteologi
adalah usaha pokok yang tidak pernah berhenti. Allah yang dipercaya dan
diberitakan gereja adalah Allah yang berfirman. Firman itu telah disampaikan
berulang kali pada zaman lampau melalui nabi-nabi, tetapi Ia berfirmsn melalui
snsk-Nya. (Ibr 1 :1-2). Kata Ia berfirman berulangkali menjelaskan bahwa firman
itu tidak datang pada waktu tertentu saja, tetapi dalam kurun waktu yang
berbeda-beda bahkan berantara ratusan tahun. Sekarang Firman itu telah terekam
dalam Alkitab. Firman itu direkam dalam bahasa manusia dalam bentuk sastra yang
berbeda-beda, memakai bahasa ilmu yang terikat pada suatu kurun waktu tertentu
dan menjawab masalah kehidupan manusia, yaitu mengenai Iman, Kebudayaan, sosial
dan politik pada zaman yang lampau.
Namun
gereja percaya bahwa firman itu tetap aktual, ia tetap menjadi pernyataan
kehendak Allah sepanjang masa bagi seluruh manusia. Agar seluruh tujuan itu
dapat tercapai , maka perlulah usaha berteologi. Tugas berteologi adalah
mengantarai pewahyuan di masa lampau sampai kedalam masa sekarang. Dengan
berteologi orang dapat memakai isi pewahyuan atas teks Alkitab secara berbeda
dengan pendengar pertama disebut konteks yang berbeda. [22]
Jadi
melalui pembahasan ini dapat menjadi kesimpulan adalah warga gereja dalam
kehidupan bergereja tidak dapat dipisahkan antara erkiniteken dan erbudaya
. mengapa saya melihat banyak realita kehidupan sekarang ini manusia cenderung
hanya berpikir masalah sorgawa, artinya beribadah dan hanya melihat vertikal ke
atas atau kepada Tuhan tanpa pernah melihat hubungan horizontal yaitu hubungan
dengan sesama manusia. Melalui ini juga memberikan kritik terhadap orang yag
mengatakan bahwa budaya atau adat itu cemar. Kita sudah melihat jika Injil kita
kontektualkan ke dalam suatu budaya akan terasa indah dan actual. Maka gereja
GBKP juga harus terus berbenah menuju gereja yang memiliki teologi kontektual
yang baik hingga Injil itu benar-benar bisa dirasakan dalam masyarakat Karo.
Kepusatakaan
Elwood
Doglas J., Teologi Kristen Asia,
(Jakarta: BPK-GM, 2006), 26
Gintings
E. P., Adat Istiadat Karo, Kabanjahe:
Abdi Karya, 1995), 13
Gintings
Sada Kata, E. P. Gintings & Bujur Surbakti, Kamus Karo Indonesia, Medan: Yayasan Merga Silima, 1996
Gintings
Sada Kata, E. P. Gintings & Bujur Surbakti, Kamus Karo Indonesia
Gintings
Sada Kata, Ranan Adat, Medan: Yayasan
Merga Silima, 2014
Hesselgrave
David J.. Edward Rommen, Kontekstualisasi,
(Jakarta: BPK-GM, 2004), 48
Mawene
Marthinus Theodore, Perjanjian Lama dan
Teologi Kontekstual, Jakarta: BPK GM: 2008.
Moderamen
GBKP, Jurnal Teologi Beras Piher, Edisi: April-jul, 2003
Sapulete H. L., “Bertahan Demi Makna” dalam Teologia Operatif, Asnath N
Natar MTh- dkk (Penyunting), Jakarta: BPK GM: 2003
Schreitner
Lothar, Adat Dan Injil, Jakarta:
BPK-GM, 1996
Sitepu
Bujur, Ula Lupa Taneh Karo Simalem Ras
Pijer Podi Karo, Medan: Yayasan Merga Silima, 1993
Song,
C. S. Sebutkan Nama-nama Kami: Teologi
Cerita dari Persfektif Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993
Tata
Gereja GBKP yang mencantumkan Pengakuan Dasar (Konfesi) GBKP , TATA GEREJA
GBKP, Kabanjahe: Moderamen, 2010
Wawancara
dengan Pdt. Iskandar Purba, S.Th, pada hari Jumat, 9 Oktober 2015 di Medan
Putri, pukul 15.00
Yung
Hwa, Mangoes or Bananas? The Quest for
an Authentic Asian Christian Theology.
(Oxford: Regnum, 1997
[1] Erkiniteken artinya adalah
beriman atau memiliki kepercayaan kepada Tuhan dan berbudaya artinya adalah
menerapkan budaya setempat dalam kehidupanya sehari hari, memiliki disiplin
yang tinggi dan tidak melanggar kaidah-kaidah adat. (Sada Kata Gintings, E. P.
Gintings & Bujur Surbakti, Kamus Karo
Indonesia, (Medan: Yayasan Merga Silima, 1996).
[2] Adapun nama-nama rekan-rekan
dalam pelaksana tugas ketiga adalah, Shoki Coe (Taiwan), diangkat menjadi
direktur tim TEF yang baru, dengan beberapa pembantu direktur yakni Aharon
sapsezian (Brazil), James Bergquist (AS), Ivy Chou (Malaysia) dan Desmond tutu
(Afrika Selatan) .
[3] David J. Hesselgrave. Edward
Rommen, Kontekstualisasi, (Jakarta:
BPK-GM, 2004), 48
[4] Doglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia, (Jakarta: BPK-GM,
2006), 26
[5] Marthinus
Theodore Mawene, Perjanjian Lama dan
Teologi Kontekstual, (Jakarta:BPK GM:2008), 1.
[6] David
J.Hesselgrave-Edward Rommen, Kontekstualisasi:
Makna, Metode dan Model, 51.
[7] H. L. Sapulete, “Bertahan Demi Makna” dalam Teologia Operatif, Asnath N
Natar MTh- dkk (Penyunting), (Jakarta: BPK GM: 2003), 55-56.
[8]Hwa Yung, Mangoes or Bananas? The Quest for an Authentic Asian Christian Theology.
(Oxford: Regnum, 1997), 240-242, menunjuk teolog Asia yang telah mendapat pendidikan Barat, di mana bagi
Yung ada keraguan bahwa teologi kontekstual yang dihasilkan adalah murni dari
konteksnya.
[9] Hal ini dapat dilihat melalui
Tata Gereja GBKP yang mencantumkan Pengakuan Dasar (Konfesi) GBKP (TATA GEREJA
GBKP, (Kabanjahe: Moderamen, 2010), 129-131.
[10]Praktik-praktik
sinkretisme yang sering dilakukan adalah perdukunan, menyembah nenek moyang,
dan memakai jimat-jimat, yang kerap dianggap sebagai solusi oleh jemaat di
dalam menghadapi pergumulan kehidupannya dan bagi jemaat yang melakukannya akan
dikenakan siasat gereja (Tata Gereja, 75-75).
[11] C. S. Song, Sebutkan Nama-nama Kami: Teologi Cerita dari Persfektif Asia,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 7-8
[12] Sada Kata Gintings, E. P.
Gintings & Bujur Surbakti, Kamus Karo
Indonesia, (Medan: Yayasan Merga Silima, 1996), 2
[13] E. P. Gintings, Adat Istiadat Karo, (Kabanjahe: Abdi
Karya, 1995), 13
[14] Sada Kata Gintings, E. P.
Gintings & Bujur Surbakti, Kamus Karo
Indonesia, 110
[15] Adapun nama
yang 30 dalam satu bulan adalah sebagai berikut:1 ADITIA, 2 SUMA 3 NGGARA, 4
BUDAHA, 5 BERAS PATI6 CUKRA ENEM BERNGI.7 BELAH NAIK, 8 ADITIA NAIK, 9 SUMANA
SIWAH, 10 NGGARA SEPULUH,.11 BUDAHA NGADEP, 12 BERAS PATI TANGKEP, 13 CUKERA
DUDU, 14 BELAH PURNAMA RAYA,.15 TULA,.16 SUMA CEPIK, 17 NGGARA ENGGO.18 BUDAHA
GOK 19 BERAS PATI.20 CUKRA SI 20.21 BELAH TURUN, 22 ADITIA TURUN, 23 SUMANA
MATE.24 NGGARA SIMBELIN25BUDAHA MEDEM, 26BERAS PATI MEDEM, 27 CUKRANA MATE, 28
MATE BULAN.29 DALAN BULAN.30SAMI SARA. Adapun ke 30 hari ini memiliki artinya
masing-masing dapat dilihat dalam kalender Karo (Kalender tahun 2014 Karo)
[16] Bujur Sitepu, Ula Lupa Taneh Karo Simalem Ras Pijer Podi
Karo, (Medan: Yayasan Merga Silima, 1993), 136
[17] E. P. Gintings, Adat Istiadat Karo, 141-142
[18] Sada Kata Gintings, Ranan Adat, (Medan: Yayasan Merga
Silima, 2014), 45-46
[19] E. P. Gintings, Adat Istiadat Karo, 142
[20] Wawancara dengan Pdt. Iskandar
Purba, S.Th, pada hari Jumat, 9 Oktober 2015 di Medan Putri, pukul 15.00-17.00
WIB
[21] Lothar Schreitner, Adat Dan Injil, (Jakarta: BPK-GM, 1996),
96-128
[22] GBKP, Jurnal
Teologi Beras Piher, (Edisi:
April-jul, 2003), 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar