Kamis, 17 Maret 2016

-Kontekstualisasi di Tanah Karo sebuah pelajaran.


ERKINITEKEN RAS ERBUDAYA[1]
(Beranjak dari sejarah Kontekstualisai sampai Pelaksanaanya di GBKP)
Oleh: Jhoni Pranata Purba

Apabila membicarakan Injil dan Kebudayaan maka pertama-tama harus disadari bahwa pokok ini merupakan suatu tema klasik di dalam pergumulan iman Kristen, ketika pertama kali Kekristenan itu tampil ke panggung sejarah dunia, dan semakin marak lagi ketika di era tahun 1970-an dimunculkan istilah “Kontekstualisasikata “kontekstualisasi” pertama kali muncul dalam terbitan TEF (1972) yakni Theological Education Fund ( Dana Pendidikan Teologi). TEF dimulai oleh Internationnal Missionary Council pada persidangan di Ghana 1957-1958.  Pada tahun 1961 International Missionary Council bergabung dengan DGD . dan hasil dari gabungan ini terbentukklah Division Of World Mission and Evangelism dari DGD, yang pada pertemuan yang pertama di Mexico City (1963) memberi mandat yang kedua kepada TEF “memikirkan kembali” (1965-1970). Tujuannya agar meningkatkan jenis pendidikan teologi Dunia Ketiga yang akan menghasilkan “ suatu perjumpaan yang sesungguhnya antara mahasiswa dan Injil dengan memakai bentuk-bentuk pemikiran dan kebudayaanya sendiri, dan dialog yang hidup antara jemaat dan lingkunganya.
            Pada tahun 1969, terbentuk kelompok penasehat baru bagi TEF, yang mengusulkan bahwa TEF, diberi mandat yang ketiga, “memperbaharui”. Ketua TEF pada masa mandat ketiga adalah Karekin Sarkissian, seorang Uskub Gereja Ortodoks Armeria dan dibantu den gan beberapa rekan dari berbagai negara.[2]  Para pelaksana mandat ketiga ini ditugasi “untuk menolong jemaat-jemaat memperbaharui pendidikan calon-calon pelayan Kristen ” dengan memberikan bantuan khusus sementara dan pelayanan-pelayanan  konsultasi kepada lembaga lembaga pendidikan teologi dan pusat-pusat latihan lainnyaTujuan utama pekerjaan TEF ialah agar Injil di ungkapkan dan pelayanan dilakukan dengan sebagai tanggapan kepada:
§  Krisis Iman yang meluas
§  Masalah-masalah keadilan sosial serta pembangunan manusia; dan
§  Ketegangan antara situasi-situasi budaya dan agama setempat dan peradapan teknologis yang universal. .[3]
Kontekstualisasi, sebagimana didefenisikan oleh komite dana pendidikan teologi (Theological Education Fund, TEF, kini diubah menjadi program untuk pendidikan Teologi), ialah “kemampuan memberikan tanggapan yang bermakna terhadap injil dalam kerangka situasinya sendiri”, rumusan  pernyataan yang bersejarah dari TEF, yang menginplementasikan Mandat ketiga komisi dana tersebut, menunjukkan kebenaran dasar yang terkandung dalam konsep lama “pempribumian” masi tetep dipertahankan dalam konsep yang lebih baru. Yaitu, gagasan untuk membiarkan Yesus merasa betah dalam situasi dan tempat khusus tertentu, dan membiarkan injil berakar dalam lingkungan khas tertentu. Namun kontekstualisasi bergerak melampaui keterbatasan “pempribumian”, sebagian disebabkan karena “pempribumian” mengesankan sekadar adaptasi belaka pada penafsiran Barat datas Injil.[4] Kontekstualisasi berkaitan dengan cara bagaimana kita menilai kekhasan konteks Dunia Ketiga. Pada hakekatnya “pempribumian” cenderung dipakai sebagai tanggapan atas Injil dalam pengertian Budaya Tradisional.
“Injil yang membumi” sebagai gambaran dari ‘jati diri baru’ gereja merupakan hal yang penting dalam mengenal dan memahami Allah bagi gereja dan orang Kristen. Sering sekali istilah “Injil yang membumi” dihubungkan dengan  kontekstualisasi. Seperti diketahui bahwa  memasuki abad ke XX, terutama sesudah Perang Dunia II, kesadaran  tentang pentingnya peran konteks dalam berteologi menjadi perhatian khusus gereja-gereja secara umum dan  lembaga-lembaga pendidikan secara khusus.[5] Dan sebagai puncak dari perhatian ini adalah dengan lahirnya istilah  Teologi Kontekstual pada pertemuan Theological Education Fund (TEF) tahun 1972, yang disampaikan oleh Shoki Coe.[6] Lahirnya istilah ini memunculkan pandangan baru di dalam berteologi, khususnya bagi gereja-gereja di Asia. Gereja-gereja Asia semakin menyadari  bahwa perhatian terhadap konteks  di mana gereja-gereja  itu hidup merupakan kebutuhan yang mendesak. Dari waktu ke waktu gereja-gereja semakin menyadari bahwa gereja membutuhkan pengenalan yang lebih mendalam  akan jati diri barunya sebagai gereja yang hidup di tempat tertentu sekaligus sebagai bagian dari gereja universal. Sehingga muncullah usaha-usaha kontekstualisasi yang menggali teologi konteks Asia, beberapa diantaranya adalah Teologi Minjung (Korea), Teologi Kerbau (Kosuke Koyama), Teologi Dalith (India).[7]
Munculnya teologi kontekstual pada satu sisi semakin memantapkan gereja dalam mewartakan misi Allah dalam suatu wilayah dengan konteksnya. Namun pada sisi lain muncul pendapat-pendapat yang menentang usaha penggalian teologi kontekstual, khususnya dalam hal ke-otentik-an dan ke-absah-an instrument teologi. Hwa Yung dalam bukunya Mangoes or Bananas (sebuah pertanyaan terhadap keotentikan Teologi Kristen Asia) menyimpulkan bahwa Teologia Kristen Asia seperti buah  mangga dan pisang. Di mana mangga adalah gambaran buah asli Asia, berkulit kuning dan isi dalamnya juga kuning. Berbeda dengan pisang yang berkulit kuning  tapi isinya putih. Mangga adalah simbol keotentikan dan pisang tidak otentik. Justru Teologi Kristen Asia yang ada saat ini adalah seperti pisang, dan bukan mangga.[8]
Kekristenan pada masyarakat suku Karo telah diperkenalkan pertama sekali oleh misionaris-misonaris pendahulu, yang dimulai sejak tahun 1890 melalui kehadiran tim misionaris perdana yang dipimpin oleh Pdt. H.C Kruyt dan rekan-rekan sepelayanan dari Nederlandsch Zendeling Gnootschap (NZG) di Buluh Awar. Benih awal pemberitaan Kabar Baik itu lah yang menjadi cikal-bakal berdirinya Gereja Batak Karo Protestan atau yang lebih dikenal dengan nama Gereja GBKP. Seiring dengan perjalanan waktu, GBKP pun berproses dalam pengembangan teologinya. Dari sejak awal berdirinya GBKP dan mau tidak mau di dalamnya melekat satu identitas lokal dimana unsur ke-karo-annya adalah sebuah ciri dan konteks dari GBKP. Sejalan dengan perkembangan teologia kontekstual diberbagai belahan dunia, gereja-gereja di Asia, Afrika dan Amerika Selatan, maka GBKP pun telah mulai berproses dalam pencarian teologi yang kontekstual bagi dirinya, dan hal ini terus dan masih terus dilakukan sesuai dengan amanat Sidang Sinode GBKP 2000 yang lalu. Dalam pencarian dan penggalian teologia yang kontekstual bagi GBKP, aspek budaya merupakan salah satu hal yang perlu mendapat perhatian yang besar. Hal ini mengingat mayoritas jemaat GBKP adalah masyarakat Suku Karo yang masih terikat erat dengan budaya Suku Karo yang ada pada mereka. Masyarakat Suku Karo dan  budayanya adalah ibarat dua gambar di dua sisi pada satu mata koin. Keduanya saling melekat dan tak terpisahkan sehingga saling melengkapi dan mampu memberikan nilai dan arti satu dengan yang lain. Melalui tulisan singkat ini, penulis mencoba untuk melihat satu bagian dari pendekatan budaya yang menjadi kebiasaan pada Suku Karo dalam upaya pengkontekstualisasian dan  pengembangan teologia kontekstual bagi GBKP.  GBKP adalah Gereja yang dibentuk dan dikhususkan bagi orang Karo. Sehingga GBKP dikenal sebagai gereja yang mewartakan  misi Allah sekaligus juga gereja yang hidup dan melestarikan budaya Karo.  Misi Allah yang berkarya dalam budaya Karo merupakan sebuah pergumulan sekaligus aset terbesar dalam kehidupan GBKP hingga saat ini, terutama di dalam melahirkan dan mengembangkan Teologi Kontekstual Karo. Usaha-usaha yang dilakukan GBKP dalam menggali teologi kontekstual dapat dikatakan telah berkembang dengan baik.[9] Namun dalam  kehidupan jemaat  terjadi praktik-praktik sinkretisme dan lunturnya nilai-nilai budaya Karo.[10] adapun budaya yang mau saya kaji adalah mengenai ADAT PENABALAN NAMA DALAM MASYARAKAT KARO
Sebuah pepatah mengatakan “Apalah arti sebuah nama?” Kata ini seolah mengatakan bahwa nama itu tidak terlalu penting bagi seseorang. Tetapi dalam kenyataan terlihat nama seseorang sangat berperan penting dalam kehidupan orang tersebut karena nama itu menunjukkan siapa dirinya seutuhnya. Ketika sebuah nama disebut, maka gambaran mengenai karakter, kepribadian, sifat, perilaku dan segala perbuatan orang tersebut terbayang dibenak orang yang mengenalnya. Jadi nama bukan hanya sekedar nama, melainkan menjadi tanda pengenal atau pemberi identitas sekaligus eksistensi (keberadaan) seseorang dalam sebuah keluarga, suku, ataupun bangsa bahkan di seluruh dunia. Di dalam nama tersebut hidup suatu sejarah, baik dahulu, sekarang dan masa depan.[11] Dale Carnegie mengatakan, “suara yang paling merdu di dunia adalah nama seseorang”.
Dalam Kamus Karo Indonesia kata “adat” diartikan sebagai bicara, kebiasaan, adat ini sebenarnya merangkup lapisan kehidupan seperti agama peradilan, hubungan keluarga kehidupan dan kematian.[12] Adat juga diartikan sebagai kebiasaan yang sudah dilakukan berulang-ulang, turun-temurun dan bersifat mengikat, normatif, dan tidak bisa dihindarkan baik perorangan maupun masyarakat. Adat juga sebagai tatanan hidup yang telah dilaksanakan berulang-ulang dan telah diwariskan kepada generasi penerus.[13] Sedangkan pengertian “nama” di dalam Kamus Karo Indonesia, yaitu kata untuk menyebut atau memanggil orang. Nama dalam bahasa Karo adalah gelar.[14]
Masyarakat Karo sudah mentradisi jika ada anak yang lahir maka anak beru langsung mendatangi seorang dukun untuk menanyakan bagaimana masa depan anak tersebut, sesuai dengan hari dan jam anak tersebut lahir. Hal ini dilakukan, apakah anak tersebut membawa rejeki atau membawa sial. Karena menurut kepercayaan masyarakat Karo, ada hari dan jam yang baik, ada yang kurang baik dan sama sekali tidak baik.[15] Untuk itu jika hari dan jamnya baik tidak ada persoalan, tapi jika kurang baik, maka sang dukun akan memperbaikinya dengan membuat beberapa acara atau persyaratan, seperti dengan memberikan jimat dan menetapkan nama anak yang lahit tersebut supaya anak tersebut membawa berkat. Sedangkan jika memang hari dan jam anak itu lahir tepat pada hari dan jam yang sama sekali tidak baik maka sang dukun juga tidak dapat mengubahnya menjadi baik. Untuk anak yang seperti ini biasanya akan di bunuh karena dianggap membawa sial, jika keluarga tidak sampai hati untuk membunuhnya dengan sengaja maka anak tersebut akan ditempatkan di bawah kolong dan tidak disusui supaya mati.[16] Inilah hari yang menjadi pedoman dan petunjuk bagi masyarakat Karo, mereka selalu pergi untuk menemui seorang dukun yang mereka sebut “guru simeteh ngoge wari si telu puluh”.
Dalam memberikan nama (erbahan gelar) bagi bayi yang baru lahir, Kalimbubu datang dan bermusyawarah tentang nama yang akan diberikan kepada bere-bere (keponakannya). Setelah mereka menemukan nama yang dianggap baik, maka mami (isteri paman) bayi tersebut mengambil beras sejemput (diambil dengan cara lima jari) dengan doa: “Enda kutotoken man Dibata rebahan gelar beberengku enda” (sekarang aku berdoa kepada Tuhan untuk membuat nama keponakanku ini). kalau nanti serasi genap nanti beras ini dengan tanganku yang kanan dan semoga yang di tangan kiri ganjil. Sesudah itu dia mengambil lagi beras dengan ujung jari (njemput) dan terus menghitungnya dan ternyata genap bilangannya. Oleh karena itu dia berdoa sekali lagi. Jangan berbohong katakan yang sebenarnya, katakan serasi atau tidak. Kalau serasi, nanti ganjil di tangan yang kiri. Sesudah itu dia mengambil beras dengan jarinya dengan menggunakan tangan kiri serta menghitungnya, ternyata setelah dihitung bilangannya genap. Seandainya belum tepat seperti doanya maka terus diulangi dengan berganti-ganti mengatakan sebelah mana yang genap dan yang ganjil, sampai akhirnya tepat seperti yang ia sebutkan.[17] Setelah tepat jumlahnya genap dan ganjil seperti isi doanya maka ia mengatakan kepada ibu si bayi (beru): “Enda enggo kupadi-padiken gelar anakndu enda. Enggo padi gelarna si Missio. Ma enggo siakap mehuli kerina?” Pertanyaan tersebut dijawab suaminya dan semua keluarga: “Bage! Enggo mehuli.” Maka nama bayi tersebut sudah resmi si Missio. Juga jika anak itu perempuan, maka yang melakukan acara tersebut adalah bibina (saudara perempuan dari ayanh anak tersebut).[18]
Sesudah Kristen pemberian nama tersebut bisa saja diteruskan seperti adat Karo oleh kalimbubu, tapi ada juga sudah disediakan ibu bapa si bayi dan diberikan kepada kalimbubu, serta sangkep geluh. Nama tersebut tidak lagi dihubungkan dengan pengertian magis-mistis animisme. Tidak dilakukan melihat “rasin” nama, tidak dilakukan “ipadi-padiken” sebab orang Kristen telah menerima semangat dan pengertian baru, bebas dari paham magis-mistis-animisme. Orang Kristen berpikir mendasar dalam menentukan nama dan semua nama ada artinya, dipilih nama yang baik untuk mengungkapkan harapan atau sejarah dan lain-lain, bisa dipilih nama-nama orang Karo yang seperti Kongsi, Ukur Meriah, Perpulungen, dan lain-lain. Dan bisa nama yang berlatar-belakangkan Alkitab seperti: Christian, Joy Nathanael, dan lain-lain. Dan sewaktu memberikan nama tersebut dilakukan sebagai doa pertemuan keluarga dan doa disampaikan kepada Allah dalam nama Tuhan Yesus Kristus.[19]
Dalam penabalan nama itu semua tergantung keyakinan[20], apapun kalau yakin itu baik. Namun ada juga yang tidak serasi, sebagai contoh:ketika anak-anak itu bernama Kolam, namun ketika dia sering sakit sehingga diganti namanya jadi Tingger, ternyata ia jadi sehat. Namun semua itu bukan suatu kepastian karena ada juga yang sudah diganti namanya berkali-kali namun tidak ada perubahan. Dahulu hal ini tinggi persentasenya berhasil. Namun kini sudah jarang dilakukan karena masyarakat Karo pada umumnya sudah tidak tahu untuk melaksanakan ritual penabalan nama, juga sudah punya kepercayaan bahwa makna nama itu tidak mempengaruhi kesehatan dan kelakuan pemilik nama tersebut.
Penabalan nama dalam GBKP masih jauh ketinggalan dengan Gereja HKBP, hal ini terlihat ketika dilakukan baptisan bagi anak-anak, karena di HKBP setiap anak anggota jemaat yang lahir, dalam beberapa minggu langsung di baptis dan di situlah penabalan nama bagi anak tersebut. sedangkan di GBKP pada umumnya sudah dijadwalkan acara pembaptisan bagi anak-anak, sehingga ada anak yang sudah lama punya nama baru di baptiskan.
Penabalan dan pergantian nama pada masyarakat Karo pada umumnya dilakukan oleh masyarakat yang belum beragama Kristen, namun masih ada juga beberapa dari jemaat yang masih melakukannya. Para pihak pemberi nama juga tidak merasa tersinggung jika tidak ikut dalam acara ritual penabalan nama. Yang sering terjadi, orangtua telah lebih dahulu memberikan nama kepada anaknya. Karena nama bukan mempengaruhi kesehatan bagi pemilik nama, jika sakit ada rumah sakit untuk tempat berobat dan di doakan agar sembuh. Menurut kepercayaan bahwa segala yang tidak baik dalam kehidupan bukan tergantung kepada nama bagi pemilik nama, tapi ada rencana Tuhan yang lebih indah dalam hal tersebut. karena pada awalnya pergantian nama dianggap punya sugesti karena memang begitu keyakinan pada masa itu.
Setelah kita melihat bagaimana observasi budaya dalam suku Karo maka tidak ada salahnya bagaimana kita melihat bagaimana adat itu di terjemahkan oleh bebrapa ahli adat Batak dalam perkembanganya. Ini juga bisa menjadi bandingan bagi kita supaya lebih memahami adat dan injil
Adat merupakan pokok perhatian buat persekutuan-persekutuan kampung di Tanah Batak. Namun seiring datangnya agama Kristen telah membuat keberlakuan dan kekuasaan adat begitu diragukan. Beberapa tokoh mencoba untuk menghidupkan kembali nuansa adat dalam kehidupan orang Batak seperti Raja Patik Tampubolon, Haeman Badurahim Siahaan, Guru Washington Hutagalung. Ketiganya debesarkan sebagai anggota gereja Batak, mereka adalah orang Batak yang sungguh-sungguh.
1.      Raja Patik Tampubolon dan usahanya untuk menciptakan suatu pandangan dunia batak yang baru.
Bagi Tampubolon adat itu sulit untuk diterangkan. Namun adat itu dapat diterangkan dengan memperhatikan : (a) Hubungannya dengan “undang-undang dan hukum”, (b) Sifatnya yang ilahi, (c) Kelakuan yang etis, dan (d) Persekutuan yang genealogis.
Adat undang-undang dan hukum batak bukanlah agama. Agama adalah kata yang jelek yang berasal dari orang asing bukan kata batak dan tidak ada agama batak. Mengenai asal mula adat ia berkata:”Adapun pangkal adat hanya satu, Tuhan Mulajadinabolon-Keadilan dan Kebenaran”. riwayat hidupnya saja sudah berharga untuk dipelajarai seperti:
1.      Dari penginjilan simalungun sampai menjadi pemimpin kumpulan si raja Batak.
2.      Pustaha Tumbaga holing dan terjadinya.
3.      Bentuk dan isi tumbaga itu.
4.      Pengertian tampubolon tentang adat
5.      Pengaruh alkitab dan inkretisme
6.      Mengenai hubungan adat dan agama
2.      Washington Hutagalung: Adat sebagai tertib kehidupan yang sesuai dengan zaman dalam gereja.
Hutagalung berdiri diatas dasar agama Kristen serta menerima gereja. Mengenai merosotnya adat, ia memberikan suatu gambaran yang didalamnya unsur-unsur mitologis, historis dan normatif terlihat terjalin satu sama lain. pemeliharaan kesukuan Batak oleh zending Eropa diingatkannya sebagai teladan. Hutagalung mengatakan bahwa kebudayaan Eropa tidak merusakkan kebudayaan anak negeri melainkan memperbaikinya. Yang menjadi pusat karya Hutagalung bukanlah undang-undang dan hukum sebagaimana pada Tampubolon, melainkan marga. Marga itu adalah suatu warisan yang berharga dan tidak dapat hilang. Marga itu merupakan dasar, baik buat persekutuan yang hidup maupun buat kepentingan-kepentingan rohani. Menurut Hutagalung, adat itu ditanamkan oleh nenek moyang. Akan tetapi sikap kritis terhadap kepercayaan nenek moyang ditiadakan lagi melalui pepatah : adat kebiasaan nenek moyang, tata ilahi buat cucu untuk dipelihara setap hari supaya Mulajadinabolon memberi kebahagiaan. Adat itu adalah suatu cabang kebudayaan dan oleh sebab itu haruslah menyesuaikan diri dengan waktu yang menguasai segala-galanya. Suatu unsur dasar dalam konsepsi Hutagalung tentang adat adalah kemajemukan atau pluralitas karena titik tolaknya adalah marga. Hutagalung memperhatikan adat yang nyata dan sosial. Menurut Hutagalung adat dengan agama Kristen bukanlah dua hal yanng bertentangan, melainkan sebagai yang bergabung. Kekafiran orang Batak adalah pelopor kepada Kekristenan. Dan bisa dikatakan ideologi kekafiran orang Batak sangat dekat dengan dogma orang Kristen. Kehidupan masyarakat Batak-purba telah memiliki suatu sifat khas yang mirip dengan agama Kristen, suatu sifat yang paling kena apabila dipahami sebagi takut kepada Allah. hubungan adat dengan agama Kristen tidak hanya dilihat dalam persamaan dan kontuinitas keberagamaan. Adat merupakan dasar perkawinan dan diatasnyalah agama membangun, adat itu mempertahankan tetapi yang menentukan pemakaiannya adalah agama Kristen.
Tentang hubungan dengan Allah dan nama Allah, ia selalu memakai kata dewa yang berbahagia atau Mulajadinabolon. Hutagalung tidak meliat pertentagan dengan hal ini yakni bawa dalam lingkungan agama Kristen adat berbicara tentang Allah dengan berbagai sebutan lain daripada yang dipakai oleh iman, yaitu iman Kristen. Hutagalung menguatkan pepatah yang mengungkapkan suatu keinginan atau keinginan yang diungkapkan secara bebas : kiranya hal itu direstui oleh dewa yang berbahagia dan mulia. Kiranya hal itu direstui oleh kuasa sakti kumpulan kita ini. Rumusan ini berisi harapan agar ada kerjasama antara dewata dan kekuatan supraalamiah persekutuan adat yang berkumpul. Jadi menurut Hutagalung kekristenan Hutagalung mengenal pertemuan dengan Allah yang hidup yang mengajar manusia untuk memahami penderitaannya sebagai berkat dalamm Yesusu Kristus sehingga ia menerimanya. Disini menjadi nyata dan jelas batas antara kehidupan dalam adat dnegan kehidupan kepercayaan Kristen. Hutagalung memberikan nama-nam dewa Batak-purba itu yakni pendapatnya tentang tempat adat perkawinan. Menurut Hutagalung zaman sekarang adalah masa waktu peralihan berarti hubungan adat dengan kekristenan.

3.      H.B.Siahaan: Adat dan Agama Kristen sebagai dua hal ayang saling melengkapi.
Menurut pandangan Siahaan, “keteguhan adat yang baik dan hukum yang baik di tengah-tengah kita merupakan sumber berkat yang datang dari dewata yang mulia dan berbahagia”. Bagi Siahaan, Adat itu adalah konvesi sosial, sebagai “suatu jalan” untuk membimbing orang-orang kepada sikap bijaksana, kesopanan, dan persekutuan baik”. Oleh karena itu Siahaan berharap, walau dengan adanya agama, adat tidak boleh hilang selama itu sesuai dengan zaman dan ajaran Kristen. Tapi Siahaan juga tetap pada pendiriannya untuk “mempertahankan adat”. Pemahaman yang dibangun oleh Siahaan juga menumbuhkan sikap “relativisme”. Karena ia mengatakan “upacara yang baik harus dipertahankan, dan yang melawan kekristenan jangan dilakukan”, tetapi mengenai apa yang baik dan tidak baik, Siahaan tidak menjelaskan. Ia hanya ingin untuk menghapuskan perselisihan diantara keduanya. Cara berpikirnya adalah “agama Batak-purba”.[21]
Berteologi adalah usaha pokok yang tidak pernah berhenti. Allah yang dipercaya dan diberitakan gereja adalah Allah yang berfirman. Firman itu telah disampaikan berulang kali pada zaman lampau melalui nabi-nabi, tetapi Ia berfirmsn melalui snsk-Nya. (Ibr 1 :1-2). Kata Ia berfirman berulangkali menjelaskan bahwa firman itu tidak datang pada waktu tertentu saja, tetapi dalam kurun waktu yang berbeda-beda bahkan berantara ratusan tahun. Sekarang Firman itu telah terekam dalam Alkitab. Firman itu direkam dalam bahasa manusia dalam bentuk sastra yang berbeda-beda, memakai bahasa ilmu yang terikat pada suatu kurun waktu tertentu dan menjawab masalah kehidupan manusia, yaitu mengenai Iman, Kebudayaan, sosial dan politik pada zaman yang lampau.
Namun gereja percaya bahwa firman itu tetap aktual, ia tetap menjadi pernyataan kehendak Allah sepanjang masa bagi seluruh manusia. Agar seluruh tujuan itu dapat tercapai , maka perlulah usaha berteologi. Tugas berteologi adalah mengantarai pewahyuan di masa lampau sampai kedalam masa sekarang. Dengan berteologi orang dapat memakai isi pewahyuan atas teks Alkitab secara berbeda dengan pendengar pertama disebut konteks yang berbeda. [22]
Jadi melalui pembahasan ini dapat menjadi kesimpulan adalah warga gereja dalam kehidupan bergereja tidak dapat dipisahkan antara erkiniteken dan erbudaya . mengapa saya melihat banyak realita kehidupan sekarang ini manusia cenderung hanya berpikir masalah sorgawa, artinya beribadah dan hanya melihat vertikal ke atas atau kepada Tuhan tanpa pernah melihat hubungan horizontal yaitu hubungan dengan sesama manusia. Melalui ini juga memberikan kritik terhadap orang yag mengatakan bahwa budaya atau adat itu cemar. Kita sudah melihat jika Injil kita kontektualkan ke dalam suatu budaya akan terasa indah dan actual. Maka gereja GBKP juga harus terus berbenah menuju gereja yang memiliki teologi kontektual yang baik hingga Injil itu benar-benar bisa dirasakan dalam masyarakat Karo.
Kepusatakaan
Elwood Doglas J., Teologi Kristen Asia, (Jakarta: BPK-GM, 2006), 26
Gintings E. P., Adat Istiadat Karo, Kabanjahe: Abdi Karya, 1995), 13
Gintings Sada Kata, E. P. Gintings & Bujur Surbakti, Kamus Karo Indonesia, Medan: Yayasan Merga Silima, 1996
Gintings Sada Kata, E. P. Gintings & Bujur Surbakti, Kamus Karo Indonesia
Gintings Sada Kata, Ranan Adat, Medan: Yayasan Merga Silima, 2014
Hesselgrave David J.. Edward Rommen, Kontekstualisasi, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 48
Mawene Marthinus Theodore, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual, Jakarta: BPK GM: 2008.
Moderamen GBKP, Jurnal Teologi Beras Piher,  Edisi: April-jul, 2003
 Sapulete H. L., “Bertahan  Demi Makna” dalam Teologia Operatif,  Asnath N Natar MTh- dkk (Penyunting), Jakarta: BPK GM: 2003
Schreitner Lothar, Adat Dan Injil, Jakarta: BPK-GM, 1996
Sitepu Bujur, Ula Lupa Taneh Karo Simalem Ras Pijer Podi Karo, Medan: Yayasan Merga Silima, 1993
Song, C. S. Sebutkan Nama-nama Kami: Teologi Cerita dari Persfektif Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993
Tata Gereja GBKP yang mencantumkan Pengakuan Dasar (Konfesi) GBKP , TATA GEREJA GBKP, Kabanjahe: Moderamen, 2010
Wawancara dengan Pdt. Iskandar Purba, S.Th, pada hari Jumat, 9 Oktober 2015 di Medan Putri, pukul 15.00
Yung Hwa, Mangoes or Bananas? The Quest for an  Authentic Asian Christian Theology. (Oxford: Regnum, 1997



[1] Erkiniteken artinya adalah beriman atau memiliki kepercayaan kepada Tuhan dan berbudaya artinya adalah menerapkan budaya setempat dalam kehidupanya sehari hari, memiliki disiplin yang tinggi dan tidak melanggar kaidah-kaidah adat. (Sada Kata Gintings, E. P. Gintings & Bujur Surbakti, Kamus Karo Indonesia, (Medan: Yayasan Merga Silima, 1996).
[2] Adapun nama-nama rekan-rekan dalam pelaksana tugas ketiga adalah, Shoki Coe (Taiwan), diangkat menjadi direktur tim TEF yang baru, dengan beberapa pembantu direktur yakni Aharon sapsezian (Brazil), James Bergquist (AS), Ivy Chou (Malaysia) dan Desmond tutu (Afrika Selatan) .
[3] David J. Hesselgrave. Edward Rommen, Kontekstualisasi, (Jakarta: BPK-GM, 2004), 48
[4] Doglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia, (Jakarta: BPK-GM, 2006), 26
[5] Marthinus Theodore Mawene, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual, (Jakarta:BPK GM:2008), 1.
[6] David J.Hesselgrave-Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model,  51.
[7] H. L. Sapulete, “Bertahan  Demi Makna” dalam Teologia Operatif,  Asnath N Natar MTh- dkk (Penyunting), (Jakarta: BPK GM: 2003),  55-56.
[8]Hwa Yung, Mangoes or Bananas? The Quest for an  Authentic Asian Christian Theology. (Oxford: Regnum, 1997), 240-242, menunjuk teolog Asia yang  telah mendapat pendidikan Barat, di mana bagi Yung ada keraguan bahwa teologi kontekstual yang dihasilkan adalah murni dari konteksnya.    

[9] Hal ini dapat dilihat melalui Tata Gereja GBKP yang mencantumkan Pengakuan Dasar (Konfesi) GBKP (TATA GEREJA GBKP, (Kabanjahe: Moderamen, 2010), 129-131.  
[10]Praktik-praktik sinkretisme yang sering dilakukan adalah perdukunan, menyembah nenek moyang, dan memakai jimat-jimat, yang kerap dianggap sebagai solusi oleh jemaat di dalam menghadapi pergumulan kehidupannya dan bagi jemaat yang melakukannya akan dikenakan siasat gereja (Tata Gereja, 75-75).

[11] C. S. Song, Sebutkan Nama-nama Kami: Teologi Cerita dari Persfektif Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 7-8
[12] Sada Kata Gintings, E. P. Gintings & Bujur Surbakti, Kamus Karo Indonesia, (Medan: Yayasan Merga Silima, 1996), 2
[13] E. P. Gintings, Adat Istiadat Karo, (Kabanjahe: Abdi Karya, 1995), 13
[14] Sada Kata Gintings, E. P. Gintings & Bujur Surbakti, Kamus Karo Indonesia, 110
[15] Adapun nama yang 30 dalam satu bulan adalah sebagai berikut:1 ADITIA, 2 SUMA 3 NGGARA, 4 BUDAHA, 5 BERAS PATI6 CUKRA ENEM BERNGI.7 BELAH NAIK, 8 ADITIA NAIK, 9 SUMANA SIWAH, 10 NGGARA SEPULUH,.11 BUDAHA NGADEP, 12 BERAS PATI TANGKEP, 13 CUKERA DUDU, 14 BELAH PURNAMA RAYA,.15 TULA,.16 SUMA CEPIK, 17 NGGARA ENGGO.18 BUDAHA GOK 19 BERAS PATI.20 CUKRA SI 20.21 BELAH TURUN, 22 ADITIA TURUN, 23 SUMANA MATE.24 NGGARA SIMBELIN25BUDAHA MEDEM, 26BERAS PATI MEDEM, 27 CUKRANA MATE, 28 MATE BULAN.29 DALAN BULAN.30SAMI SARA. Adapun ke 30 hari ini memiliki artinya masing-masing dapat dilihat dalam kalender Karo (Kalender tahun 2014 Karo)


[16] Bujur Sitepu, Ula Lupa Taneh Karo Simalem Ras Pijer Podi Karo, (Medan: Yayasan Merga Silima, 1993), 136
[17] E. P. Gintings, Adat Istiadat Karo, 141-142
[18] Sada Kata Gintings, Ranan Adat, (Medan: Yayasan Merga Silima, 2014), 45-46
[19] E. P. Gintings, Adat Istiadat Karo, 142
[20] Wawancara dengan Pdt. Iskandar Purba, S.Th, pada hari Jumat, 9 Oktober 2015 di Medan Putri, pukul 15.00-17.00 WIB

[21] Lothar Schreitner, Adat Dan Injil, (Jakarta: BPK-GM, 1996), 96-128
[22]  GBKP, Jurnal Teologi Beras Piher,  (Edisi: April-jul, 2003),  5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar