Senin, 21 Maret 2016
Kamis, 17 Maret 2016
Teologi Sosial: Teologi Pembebasan Amerika Latin
TEOLOGI PEMBEBASAN AMERIKA LATIN
Jhoni Pranata Purba
I.
Pendahuluan
Kebebasan dan
keadilan adalah dambaan semua manusia di dunia ini. orang yang terperangkap
dalam kemiskinan, penindasan,
atau yang dalam penjara sangat membutuhkan pembebasan. Dalam kaitan ini ternyata ketidakadilan sosial juga sudah
lama terjadi di berbagai belahan dunia ini. sangat banyak negara yang memiliki
cacatan sejarah tentang penindasan atau ketidakadilan dari beberapa pihak, baik
itu dari penindas atau kapitalisme. Maka pada kesempatan kali ini kita akan
membahas bagaimana Teologi Pembebasan di Amerika Latin. Semoga sajian ini
menambah semangat kita dan menjadi pelopor pembebasan bagi masyarakat sekitar
kita.
II.
Pembahasan
2.1.
Pengertian
Teologi Pembebasan
Theologi
pembebasan merupakan kata majemuk dari kata
teologi dan pembebasan. Secara etimologi teologi berasal dari kata Theos yang berarti Tuhan dan Logos yang berarti ilmu. Jadi teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan
dan hubunganya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan
merupakan istilah yang sebagai reaksi dari istilah pembangunan yang kemudian
menjadi ideologi pengembangan ekonomi yang cenderung Liberal. Teologi
pembebasan adalah suatu paham atau peranan agama dalam lingkup sosial, yakni
pengkontekstualisasian ajaran-ajaran dan nilai agama pada masalah kongkrit yang
terjadi di sekitarnya.[1]Teologi
Pembebasan adalah salah satu dari elemen paradigma misi gereja, baik dalam
pemikiran maupun praktek. Yang dimaksut disini adalah teologi yang memusatan
perhatian pada pembebasan. Teologi pembebasan adalah fonomena yang “multi
wajah” dalam Black Theologi dan gerakan-gerakan teologi di Afrika, Asia, dan
Pasifik Selatan lainnya.[2]
Teologi
Pembebasan juga dapat diartikan sebagai salah satu jenis teologi yang
menghasilkan teologi kontekstual dari suatu perspektif penderitaan. Titik
berangkat teologi ini adalah realitas-realitas sosial yang menegaskan karena
tindakan-tindakan ketidakadilan, secara khusus ketidakadilan di dalam
sistem-sistem ekonomi, sosial, dan politik yang kemudian mengakibatkan
bentuk-bentuk penderitaan, kemiskinan, pemarjinalan, pada orang-orang lemah.[3]
2.2.
Pengaruh
Marxisme di Amerika Latin
Bagi Marx agama
adalah hanya sekedar imajinasi dari ketidak berdayaan manusia terhadap struktur
basis. Struktur basis adalah ekonomi yang mencangkup seluruh proses ekonomi
baik produksi, konsumsi, persaingan ekonomi, dan sebagainya. Marx mengkritisi
filsafat Hegel yang mengatakan bahwa : ‘apa yang berbudi sungguh-sungguh ada,
dan apa yang sungguh-sungguh ada adalah berbudi’. Roh Absolut yang mengerakkan
segala tindakan manusia dan alam semesta, kemudian Marx membalikkannya, dengan
mengatakan bahwa manusialah penggerak sejarah sesungguhnya, Roh Absolut
hanyalah hasil imajinasi dari ketidak berdayaan manusia di dunia. Seorang
penulis Eta Linnerman menuliskan bahwa ‘Marx menafsirkan bahwa masyarakat
adalah dasar sejarah dan ekonomi dipandang sebagai dasar kehidupan masyarakat.
Agama menurut
Marx hanya dijadikan sebagai alat legitimasi penindasan, keotoriterian penguasa
dan menjadi alat sebagai pembodohan manusia. Umat Kristen oleh gereja selalu
didoktrin akan keindahan surga jika menjalankan penderitaan tersebut dengan
sukarela dan tidak melawan rezim yang sedang memimpin. Para pemuka agama
memanfaatkan kedudukan yang strategis itu justru untuk melegalkan penindasan
dimasa itu. Salah satunya adalah melarang kebebasan berpikir, jika kebebasan
berfikir tersebut digunakan sebagai alat untuk melawan penindasan pemerintah
para agamawan demi mempertahankan posisinya akan menuduh orang tersebut dengan
pemberontak, kafir atau bidah dan sebagainya. Pemikiran Marx ini banyak
menginspirasi para tokoh untuk memperjuangkan dan membela rakyat dari segala
penindasan. Di Amerika latin misalanya Gustavo Gutierrez yang merupakan
pastur di Amerika latin mencetuskan “Teologi Pembebasan” dimana agama dijadikan
alat untuk membebaskan rakyat dari para kapitalis dan kediktaktoran pemerintah.[4]
2.3.
Latar
Belakang Teologi Pembebasan Amerika Latin
Amerika Latin
adalah negara yang berlimpah kekayaan, adapun kekayaan yang terdapat di Amerika
Latin yakni sumber daya alam. Namun mayoritas penduduknya terperangkap dalam
kehidupan yang melarat. Kekayaan negara Amerika hanya dinikmati oleh sekelompok
orang yang menerapkan sistem Maciavelly
yaitu “sekelomok yang menghalalkan segala cara”, untuk memperkaya diri dengan
cara mengorbankan orang lain yaitu orang yang lemah. Negara Amerika Latin
mengalami kemelaratan yang disebakan oleh kemiskinan, terbelakang, juga karena
penindasan dan Kapitalisme berkuasa di Amerika Latin.
Konsep-konsep
di dalam Teologi Pembebasan tidak langsung muncul dalam waktu seketika dan
pergerakan teologii ini tidak terjadi begitu saja, tetapi ada penyebab-penyebab
yang menjadi akar munculnya Teologi Pembebasan:
1.
Pada abad ke 16,
seorang Uskup berdarah Spanyol, Bartolome, mengadakan perjuangan untuk membela
kaum Indian yang menjadi korban penindasan orang-orang spanyol. Pembelaan yang
begitu gigih dan yang mengesankan sehingga para pelopor memandangnya sebagai
“Musa Teologi Pembebasan Amerika Latin”.
2.
Dihasilkannya dokumen
Gaudiument Spes (1965) oleh Konsili Vatikan II, yang menekankan
pertanggungjawaban khusus orang-orang Kristen terhadap mereka yang miskin dan
dirundung penderitaan.
3.
Amerika Latin adalah
kaya dengan sumber daya alam, namun masyarakatnya miskin. Upaya untuk mengatasi
kemelaratan di Amerika Latin telah diupayakan oleh banyak pihak, namun tidak
membuahkan hasil. Negara-Negara di Amerika Latin mengalami kemelaratan akibat
keterbelakangan, Kapitalisme[5]
berkuasa.[6]
Pada
dasawarsa 1960-an sejumlah perkembangan menggerakkan suatu reorientasi
politik-agama yang mulai memperhatikan ketimpangan-ketimpangan orde lama. Arus
pertama muncul dari sejumlah teolog yang dipengaruhi oleh teolog Eropa seperti
Moltmann dan Metz. Mengikuti teladan Las Casas, mereka mulai memikirkan ulang
tugas berteologi, peranan kekristenan dan implikasi-implikasi injil dalam
realitas sosial-politik Amerika Latin. Arus kedua muncul pada tahun1968 ketika
gereja Katolik mendukung pergeseran besar dalam kebijaksanaanya, dan menempuh
jalan yang akhirnya menyebapkan perpisahan dengan golongaan kaya dan militer.
Kebijakan ini melibatkan apa yang disebut oleh banyak tokoh geraja sebagai
“sengaja berpihak dengan kaum miskin”[7]
Masalah
keadilan itu sentral dalam dalam refleksi teologi teologi Pembebasan, karena
titik tolak refleksinya adalah situasi kongkret yang ditandai oleh kemiskinan
dan ketidakadilan. Reaksi-reaksi dari umat direkam dan direfleksikan dalam
terang iman. Para teolog pembebasan terlibat dalam perjuangan-perjuanga demi
keadilan yang sedang terjadi dalam banyak negara Amerika Latin. [8]
Akar
Teologi Pembebasan Ameriaka Latin dapat dietelusuri sejak abad ke 16. Pada masa
itu masyarakat terdiri dari empat kelompok atau kelas utama.
·
Golongan berkuasa yang
terdiri dari beberapa keluarga kaya yang memiliki bagian besar tanah dan
mengendalikan pemanfaatanya.
·
Golongan yang kedua
adalah pihak militer yang sering bekerja sama denga orang kaya.
·
Golongan ketiga adalah
gereja yang pada saat itu berpihak atau bergabung dengan keluarga yang kaya
atau militer.
·
Golongan para petani
yang miskin.[9]
Teologi
pembebasan adalah teologi yang timbul di Amerika Latin pada akhir tahun 60-an
abad ini. akarnya dapat dilihat dalam konsili vatikan II (1962-1965), yang
menjadi dorongan baru untuk teologi Katolik Amerika Latin. Berbeda dari teologi
pembangunan (Development Theology) dari Amerika Utara. Dan sebagai reaksi atas
teologi ini, teologi pembebasan menolak peranan dominan yang diberikan kepada
teknologi mutakhir Barat dan perkembangan rakyat Amerika Latin. Diusahakan
untuk merumuskan suatu teologi “akar rumput” (grassroot-theology) sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan rakyat miskin Amerika Latin.[10]
2.4.
Teologi Pembebasan Amerika Latin
Di
Amerika Latin, teologi Pembebasan lahir dan dibesarkan di lingkungan dunia
pendatang kulit putih yang beragama Katolik, yang mengabarkan realitas lain
berupa penduduk kulit hitam dan Indian serta agama rakyat di sana yang biasanya
di cap sebagai agama singkritis yang membodohkan serta menina-bobokkan rakyak
dalam alam penindasan.[11] Golongan berkuasa (oligarki) terdiri dari
beberapa keluarga kaya yang memiliki bagian besar tanah dan mengendalikan
pemanfaatanya. Di El Salvador, misalnya, empat belas keluarga yang merupakan
sekitar 2% dari penduduk, konon menguasai 60 % tanahnya. Pemilikan tanah oleh
oligarki ini umumnya di dukung dan sering dimungkinkan oleh militer. Semenjak
masa penyerbuan Spanyol pada abad ke-16, kekuatan militer telah digunakan untuk
memperoleh, dengan membagi paksa, dan mempertahankan sumber-sumber alam yang
telah mejadi milik dan sandaran kekayaan kedudukan sosial kelas atas.
Malangnya, gereja Katolik telah berpihak atau dikaitkan dengan pihak yang
berkuasa itu. Bartolome de La Casas memprotes raja Spanyol tentang kejahatan
yang dihubungkan dengan penaklukan Mexico, namun ia tidak mampu mempengaruhi
raja maupun gereja. Bentuk awal teologi pembebasan yang dikemukakan La Casas
tertunda pelaksanaanya selama lebih dari empat abad. Gereja bergabung dengan
golongan kaya dan militer. Sruktur sosial menyatakan bahwa para petani miskin (campesionos) yang berjumlah 85 % dari
penduduk. Hampir tidak ada hak hukum yang melindungi mereka dari penindasan,
sehingga para petani yang kebanyakan tidak memiliki tanah ini menjadi
tergantung kepada oligarki, takud terhadap militer dan terasing dari gereja.[12] Di
bidang keagamaan, terjadi pergeseran pandangan teologis di kalangan Gereja
Katolik di seantero Amerika Latin. Disebutkan dalam buku Teologi Pembebasan,
selama berabad-abad gereja di Amerika Latin menganut pemahaman teologi Barat
(Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat dalam upaya
memahami Tuhan dan iman secara rasional. Para uskup Amerika Latin menilai, cara
berteologi Barat telah menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan
menjauhkan gereja dari masaah-masalah kongkret. Gereja-gereja penganut teologi
Barat, tuding mereka, hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut
hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi
penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian. Menurut
mereka, gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang
tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat
beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan
perubahan. Namun keterlibatan rakyat hanya mungkin dibangkitkan bila mereka
memiliki harapan untuk mengubah sistem yang menindas mereka. Rakyat harus
disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib
turunan, melainkan buah dari struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku.
Kesadaran baru, kata para uskup, hanya dapat timbul bila rakyat bertambah
pandai.[13]
Di
Amerika Latin, perbudakan, eksploitasi dan Kristianitas datang dengan saling
bergandengan, kristianitas datang dengan para penjajah dan merupakan agama
mereka. Teologi pembebasan tidak hanya menyapa permasalahan-permasalahan
filosofis untuk mengubah rakyat, tetapi juga masalah sosiologis untuk mengubah
masyarakat. Para teolognya mengubah masyarakat dan menyelamatkan jiwa. Ini
merupakan gabungan antara teologi politik dan komunitas akar rumput, yang
menggunakan ide-ide Marxis tertentu. Bersama Marxis, teologi ini menyadari
bahwa lingkungan dapat membentuk manusia, manusia dapat mengubah lingkungan,
dan membela kaum miskin. Teologi ini melihat Yesus sebagai manusia miskin,
disamakan dengan hamba yang menderita yang ditulis dalam nubuat Yesaya.[14]
Gerakan
teologi pembebasan bisa dikatakan sebagai gerakan kebudayaan Amerika Latin yang
mulai menyadari adanya dominasi pemikira Barat dan karena itu ingin membebaskan
diri darinya dengan menciptakan konsep-konsep sendiri. Karena itu, gerakan
teologi pembebasan tidak hanya dilihat sebagai arus balik dari ortodoksi me
ortopraksis, tetapi juga sebagai upaya pembebasan dari suatu paradigma yang
dipandang membelenggu kehidupan, gerakan kebudayaan itu juga dalam bidang
sastra dengan tokoh-tokohnya seperti Octavio Paz, Gabriel Grazia Marquez,
termasuk Derek Walcott yang baru saja meraih nobel di bidang sastra tahun 1992.[15]
Keadaan rakyat
miskin dilihat dalam terang Injil dan penyelamatan dipahami sebagai pembebasan
dari penindas dan peningkatan
taraf hidup. Dalam menganalisa keadaan kaum miskin sering dipergunakan metode
analisa Marxis, akan tetapi
jalan yang ditunjuk oleh Marx untuk mengatasi penindasan proletariat tidak
diikuti. Pengharapan kaum miskin diambil dari eskatologi Kristen. Untuk itu
alkitab, terutama Injil-Injil, dibaca dengan mata orang-orang miskin. Injil
Kerajaan Allah, diberitakan oleh Yesus, dilihat sebagai berita yang khusus
ditujukan kepada kaum miskin. Bukan keselamatan rohani saja yang diberikan
didalamnya, seperti dikatakan kaum teologi burjuis, tetapi juga pembebasan dari
penindasan dan kemiskinan, demikian pengalaman kaum miskin menjadi kunci untuk
membaca Alkitab sebagai beberita pembebasan. Berita pembebasan menjadi pegangan
orang-orang miskin untuk saling menguatkan dan untuk bertindak bersama untuk
mencari pembebasan dari penindas yang dialami masyarakat. Dalam jemaat-jemaat
orang-orang miskin yang dibentuk dan biasanya disebut “persekutuan-persekutuan
basis”, spritualitas dan aksi di hubungkan secara erat.[16]
2.5.
Tokoh-Tokoh
Pembebasan Amerika Latin
2.5.1.
Gustavo
Guterrez
Gustavo
Gutterrez, asal Peru, adalah orang pertama yang merangkum paham Teologi
Pembebasan lewat bukunya, Teologia de la Liberacion, 1971. Buku ini memicu
diskusi yang lebih rinci tentang paham Teologi Pembebasan. Gustavo Guterrez
Merino, O.P (Lahir 8 Juni 1928 di Lima), adalah seorang teolog Perudan imam dominikan yang
dianggap oleh pendiri teologi pemebebasan. Ia adalah anggota Akademi Bahasa
Peru, dan ada tahun 1993 ia dihadiahi Legium Kehormatan oleh pemerintahan
Prancis untuk karyanya yang tak kenal lelah. Dalam teologi pembebasan dia
mengatakan bahwa di dalam berteologi Kristen yang nantinya menjadi teologi
pembebasan bahwa di dalam melakukan itu semua kita harus melakukan interaksi
dengan Marxisme karna ini yang merupakan pendorong terjadinya bentuk teologi
pembebasan. Di dalam hal ini Gustavo Guiterrez menggumuli masalah di dalam
teologi pembebasan adalah hubungan antara teologi keselamatan Kristen dan
pembebasan manusia yang terjadi dalam dunia ini, yang menyebapkan
ketidakjelasan diantara kedua ini di dalam konsep pembebasanb dalam Alkitabiah,
keselamatan dan pertobatan dalam konteks masalah sosial yang terjadi, sehingga
bentuk politisasi yang ada mempengaruhi orang-orang yang khususnya Kristen
bukan datang untuk menolong tapi untuk menguasai.[17]
Menurut Guiterrez bahwa tujuan pembebasan yaitu membebaskan orang-orang miskin
atau tertindas yang meliputi pembebasan secara politik (struktur sosial yang
tidak adil) dan juga secara personal yang artinya mendapat kebebasan secara
utuh.[18]
Menurut
Guiterrez pelayanan sosial melalui iman harus dibuktikan secara nyata oleh
orang Kristen dalam hidupnya, diantaranya;
·
Kasih yaitu penyerahan
diri kepada Yesus Kristus dan kemudian orang lain.
·
Spitualitas yang
memunculkan semacam kegiatan dalam hal melakukan pembebasan bagi orang yang
tertindas.
·Gereja
mengambil bagian dalam pergolakan sosial pada jamanya dengan cara melayani.
·
Melakukan suatu analisa
zaman sehingga menghasilkan suatu bentuk pelayanan atau bentuk pengembalaan.
·Dan
eskhatologi yang memahami peran gereja dalam kehidupan manusia.[19]
2.5.2.
Helder
Camara
Helder Camara
adalah uskup Olinda dan Recife, Ia dianggap salah satu tokoh Katolik yang besar
pada abad ke 20. Camara adalah perintis penting bagi teologi pembebasan Amerika
Latin. Namun teologinya terlalu biasa untk diidentifikasikan dengan teologi
dari para teolog pembebasan yang belakangan. Ia mempengaruhi gerakan ini
melalui komitmenya terhadap kaum miskin yang tidak kenal kompromi. Ia
disingkirkan dari posisinya oleh Paus Yohannes Paulus II. Camara terkenal
karena ucapanya, “ketika saya memberikan makanan kepada orang miskin, mereka
menyebut saya santo. Ketika saya bertanya mengapa orang miskin tidak mempunyai
makanan, mereka menyebut saya Komunis”
2.5.3.
Leonardo
Boof
Leonardo Boof
dilahirkan pada 14 Desember 1938 di Concordia, Estado de Santa Catarina,
Brazil, ia adalah seorang teolog, filsuf dan penulis, yang terkenal karena ia aktif mendukung perjuangan bagi
hak-hak kaum miskin dan mereka yang tersisihkan. Ia adalah salah satu pendiri
Teologi Pembebasan, bersama-sama dengan Gustavo Guiterrez. Ia hadir dalam
refleksi-refleksi pertama yang berusaha mengartikulasikan kemarahan terhadap
penderitaan dan marginalisasi dengan diskursus iman yang memberikan
pengharapan, yang kemudian menghadirkan Teologi Pembebasan. Boff adalah tokoh
yang kontroversial di lingkungan gereja Khatolik bukan hanya karna dukunganya
terhadap razim-razim sayap kiri di masa lampau, tetapi juga karena dia dituduh
mendukung kaum Homoseksual. Boff adalah seorang yang gigih membela perjuangan
untuk hak-hak asasi manusia, menolong merumuskan perspektif Amerika Latin yang
baru.[20] Boff mengatakan bahwa bukan hanya orang
miskin yang tertindas harus dibebaskan, tetapi semua umat manusia, kaya,
miskin, karena mereka semua tertindas oleh sebuah paradigma yang memperbudak
kita semua; Penyalahgunaan bumi, konsumtivisme, pengabaian yang lain. Ia mengawali dari keterpihakan orang miskin
yaitu, belarasa ( solidaritas) dan prinsip yang bertanggung jawab. Sikap
balarasa ditunjukkan Yesus dalam hidupnya. Yesus datang kepada mereka yang
miskin, didiskriminasi, orang-orang yang terpinggirkan dan dianggap najis
sekalipun. Yesus menunjukkan solidaritasnya dengan semua orang yang tertindas
dan tersingkir. Dia berada bersama dengan orang yang lemah, pelacur,
orang-orang Samaria, pemungut cukai, yang cacat fisik dan sebagainya. Ini
menunjukkan keterpihakan-Nya dan solidaritas-Nya kepada mereka yang dikucilkan.
Dan Yesus menunjukkan solidaritasnya dalam bentuk Salib. Salib dianggap sebagai
misteri kebebasan manusia dari penindasan.[21]
Semangat
pembebasan lahir mesti berakar dari iman dan memanifestasikanya sebagai iman
pembebasan. Pembebasan yang dimaksud adalah pembebasan yang bersifat penenuh
dan menyeluruh, yakni dari penyakit, kematian, dan dosa. Gereja seharusnya
aktif dalam membantu orang miskin menggunakan sumber-sumber daya orang miskin
dalam melakukan perubahan. Gereja harus bergabung dengan pergumulan-pergumulan
orang miskin dan membentuk komunitas-komunitas basis dimana iman hidup dan
bersemangat dalam dimensi sosial dan pembebasan. Gereja harus mampu menganalisa
realitas sosial, memiliki kemampuan hermeneutik dari sudut pandang iman dan
tindakan pastoral, sehingga akan menolong orang-orang yang tertindas menjadi
para pembebas bagi diri mereka sendiri.[22]
2.5.4.
Jose
Miggue- Bonino
Dan
Jose Miguez-Bonino, seorang Argentina, memberikan sumbangan utama untuk
kalangan Protestan dengan bukungya Doing
Theology in a Revolutionary Situation (1975).[23]
Dia berteologi dari sudut pandang orang yang mengikut Yesus segai Tuhan dan
Juruselamat. Bonimo berpendapat bahwa
para teologi tidaklah cukup hanya dengan teori teologinya saja tetapi harus
memperhatikan realitas-realitas yang terjadi di Amerika Latin dan yang paling
penting adalah berpartisipasi langsung dan menganggapi “realitas baru” yang
terjadi.[24]
2.5.5.
Jon
Sabrino
Sobrino yang
dikenal publik sebagai teolog pembebasan ini memaknai teologi dengan cara
berbeda. Tidak hanya melihat teologi dari aspek sistematikanya saja, atau
kerumitan teori-teori saja. Tapi juga dari aspek praksis yang
terekspresi di ranah sosial. Bagi Sobrino, teologi perlu didasarkan
pada gagasan ideal praksis, bahwa percaya pada Allah juga berarti
bersolidaritas kepada kaum tertindas. Teolog yang telah mengenyam pendidikan
filsafat di St. Louis, USA dan di Frankfurt, Jerman ini percaya, bahwa Allah
sesungguhnya hadir dalam sejarah kehidupan manusia sebagai Allah yang
menderita. Oleh karena itu memaknai keberimanan kepada Tuhan Yesus Kristus di
dalamnya haruslah terkandung unsur komitmen dan pengakuan atas otoritas Allah dalam praktek sosial.
Menurut Sobrino,
Yesus adalah gambar sempurna dari teologi Allah yang
menderita. Allah yang berkenan menderita menjadi dan bersama
manusia. Melalui-Nya manusia dapat merasakan karya dan kehadiran Allah dalam
penderitaan yang dialami. Teologi yang diusung Sobrino sering
disebut sebagai teologi“dari bawah”. Teologi seperti ini umumnya dimulai dari
tafsir atas teks biblika untuk disarikan menjadi penyataan dogmatis mengenai
gereja, dan fokus pada pencarian sejarah Yesus untuk menyediakan aksi
kekristenan.[25]
III.
Refleksi
Teologis
Kesejahteraan
yang merata adalah dambaan setiap warga negara di dunia ini, bebas dari
kemiskinan, kebodohan, penindasan perang dan kekerasan sosial adalah cita-cita kita bersama. Demikian juga lah
yang didambakan Amerika Latin pada saat Kapitalisme dan penindasan terjadi di
Negara mereka.
Dalam
kitab Lukas 4: 18-19 “Roh Tuhan ada
pada-Ku, oleh sebab itu Ia mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada
orang-orang miskin; dan Ia mengutus Aku memberitakan pembebasan kepada
orang-orang tawanan, dan pengelihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan
orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun tahun rahmat Tuhan telah
datang”
Kita
harus belajar dari sosok Yesus yang tidak suka dengan penindasan. Kasihilah
sesema manusia adalah hukum yang terutama dalam iman kristen kita. Jika kita
menjadi orang kaya janganlah menjadi perampas hak orang lain. Jika kita
pengusaha janganlah kita menjadi pengusaha yang serakah. Janganlah kiranya kita
menari di atas penderitaan orang lain. Dan jika kita adalah mahasiswa teologi
beranilah berkata yang bebar demi keadilan. Janganlah kiranya kita nyaman dalam
keterpurukan, supaya kita dapat berperanaktif dalam memberikan kebebasan bagi
orang-orang yang tertindas. Orang miskin dan orang kaya adalah sama di mata
Tuhan, Tuhan juga menyayangi mereka seperti kita. Jika kita sukses jadilah
saluran berkat bagi mereka. Banyak suara mintak tolong di dunia ini tetapi
pembebas yang kurang. Semoga kita bisa menjadi pembebas apa yang dilakukan oleh
Gustavo Gueterrez dan Boff.
IV.
Kesimpulan
Dari pemaparan
diatas dapat disimpulkan bahwa Amerika Latin sebagai negara-negara yang
memiliki sumber daya alam yang melimpah tetapi tidak bisa merasakan hasih dari
tanah mereka. Walaupun negara Amerika Latin masyarakatnya hampir sebagin besar
terpuruk dalam kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Gereja juga tidak dapat
memberikan suaranya membela kaum yang lemah. Kaum kapitalis dan kaum militer
seakan menjadi penentu perkembangan bangsa tersebut. Seiring berjalanya waktu maka muncul orang-orang yang
merasa terbeban dalam kesengsaraan negara tersebut. Mereka berjuang untuk
membebaskan hak-hak mereka yang dirampas. Adapun tokoh besar yang berperan
aktif dalam teologi pembebasan adalah, Guiterrez, Camara, Boff, Bonino, dan
Sabrino.
V.
Daftar
Pustaka
Artanto Widi, Menjadi
Gereja Misioner, Jakarta: BPK-GM, 1997
Cambell Jhon, Mengupayakan
Misi Geraja Yang Kontekstual, Jakarta: Studi Institut Misiologi Persetia,
1995
Hesselgrave David J. dan Eduard Rommen, Kontekstualisasi, Jakarta; BPK-GM, 1999
Jonge Christiaan De,
Menuju Keesaan Gereja,
Jakarta; BPK-GM, 2006
Lowy Michael, Teologi
Pembebasan, Yogyakarta: Balai Pustaka Offset, 2000
Pustaka Teologis, Teologi
Dan Praksis Komunitas Post Modern, Yogyakarta; Kanisius, 1994
Simamora Ranto, Misi
Kemanusiaan dan Globalisasi, Bandung; Ink Media, 2006
singgih E. Gerrit, Mengantivasi
Masa Depan, Jakarta; BPK-GM, 2002
Smith Linda & William Reaper, Ide Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang, Yogyakarta; Kanisius,
2000
Wartaya Y. -Winangun, SJ, Tanah sumber Nilai Hidup, Yogyakarta; Kanisius, 2008
Wessels Anton, Memandang
Yesus, Jakarta; BPK-GM, 1999
Sumber-Sumber Lain
http://bertusheriaheng.blogspot.co.id/. 05 November 2015
www.
Yahoo.Com, Para Tokoh Teologi Pembebasan, 04 November 2015
[1] Michael
Lowy, Teologi Pembebasan,
(Yogyakarta: Balai Pustaka Offset, 2000), 26
[2] Widi
Artanto, Menjadi Gereja Misioner,
(Jakarta: BPK-GM, 1997), 69
[3] Ranto
Simamora, Misi Kemanusiaan dan
Globalisasi, (Bandung; Ink Media, 2006)
[4] http://bertusheriaheng.blogspot.co.id/. 05 November
2015
[5] Kaum
Kapitalis (Kaum Bermodal, golongan orang yang sangat kaya, yang menggunakan
kekayaanya untuk menguasai kaum lemah) dan kaum yang menindas rakyat dan
bersenang-senang di atas penderitaan kaum lemah. Atau Kapitalis dapat juga
diartikan sebagai sistem ekonomi yang modalnya bersumber pada pribadi, kelompok
atau perusahaan swasta. Atau dalam arti sempit bisa dikatakan bahwa sistem
perekonomian dipinpin oleh pemilik modal. (Bnd. Stevrulla Pil Indra Lumintan,
Teologi Abu-Abu: Pluralisme Agama, 398)
[6] Jhon
Cambell, Mengupayakan Misi Geraja Yang
Kontekstual, (Jakarta: Studi Institut Misiologi Persetia, 1995), 71
[7] David J.
Hesselgrave dan Eduard Rommen, Kontekstualisasi,
(Jakarta; BPK-GM, 1999), 112
[8] Y.
Wartaya-Winangun, SJ, Tanah sumber Nilai
Hidup, (Yogyakarta; Kanisius, 2008), 132
[9] David J.
Hesselgrave dan Eduard Rommen, Kontekstualisasi,
111
[10] Christiaan
De Jonge, Menuju Keesaan Gereja, (Jakarta; BPK-GM, 2006), 152
[11] E. Gerrit
singgih, Mengantivasi Masa Depan,
(Jakarta; BPK-GM, 2002), 22-23
[12] David J.
Hesselgrave dan Eduard Rommen, Kontekstualisasi,
112
[13] http://media.isnet.org/islam/Etc/TeologiPembebasan.html. 06
November 2015
[14] Linda Smith
& William Reaper, Ide Ide Filsafat
dan Agama Dulu dan Sekarang, (Yogyakarta; Kanisius, 2000), 173
[15] Pustaka
Teologis, Teologi Dan Praksis Komunitas
Post Modern, (Yogyakarta; Kanisius, 1994)
[16] Christiaan
De Jonge, Menuju Keesaan Gereja,
152
[17] David J.
Hesselgrave dan Eduard Rommen, Kontekstualisasi,
111
[18] David J.
Hesselgrave dan Eduard Rommen, Kontekstualisasi,
113
[19] David J.
Hesselgrave dan Eduard Rommen, Kontekstualisasi,
117-118
[20] www.
Yahoo.Com, Para Tokoh Teologi Pembebasan, 04 November 2015
[21] Anton
Wessels, Memandang Yesus, (Jakarta;
BPK-GM, 1999), 69
[22] Anton
Wessels, Memandang Yesus, 109-111
[23] David J.
Hesselgrave dan Eduard Rommen, Kontekstualisasi, 112
Langganan:
Postingan (Atom)