Kamis, 17 Maret 2016

Teologi Sosial: Teologi Pembebasan Amerika Latin


TEOLOGI PEMBEBASAN AMERIKA LATIN
                      Jhoni Pranata Purba 


I.                  Pendahuluan
Kebebasan dan keadilan adalah dambaan semua manusia di dunia ini. orang yang terperangkap dalam kemiskinan, penindasan, atau yang dalam penjara sangat membutuhkan pembebasan. Dalam kaitan ini ternyata ketidakadilan sosial juga sudah lama terjadi di berbagai belahan dunia ini. sangat banyak negara yang memiliki cacatan sejarah tentang penindasan atau ketidakadilan dari beberapa pihak, baik itu dari penindas atau kapitalisme. Maka pada kesempatan kali ini kita akan membahas bagaimana Teologi Pembebasan di Amerika Latin. Semoga sajian ini menambah semangat kita dan menjadi pelopor pembebasan bagi masyarakat sekitar kita.
II.               Pembahasan
2.1.                     Pengertian Teologi Pembebasan
Theologi pembebasan merupakan kata majemuk dari kata  teologi dan pembebasan. Secara etimologi teologi berasal dari kata Theos yang berarti Tuhan dan Logos yang berarti ilmu. Jadi teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubunganya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan merupakan istilah yang sebagai reaksi dari istilah pembangunan yang kemudian menjadi ideologi pengembangan ekonomi yang cenderung Liberal. Teologi pembebasan adalah suatu paham atau peranan agama dalam lingkup sosial, yakni pengkontekstualisasian ajaran-ajaran dan nilai agama pada masalah kongkrit yang terjadi di sekitarnya.[1]Teologi Pembebasan adalah salah satu dari elemen paradigma misi gereja, baik dalam pemikiran maupun praktek. Yang dimaksut disini adalah teologi yang memusatan perhatian pada pembebasan. Teologi pembebasan adalah fonomena yang “multi wajah” dalam Black Theologi dan gerakan-gerakan teologi di Afrika, Asia, dan Pasifik Selatan lainnya.[2]
Teologi Pembebasan juga dapat diartikan sebagai salah satu jenis teologi yang menghasilkan teologi kontekstual dari suatu perspektif penderitaan. Titik berangkat teologi ini adalah realitas-realitas sosial yang menegaskan karena tindakan-tindakan ketidakadilan, secara khusus ketidakadilan di dalam sistem-sistem ekonomi, sosial, dan politik yang kemudian mengakibatkan bentuk-bentuk penderitaan, kemiskinan, pemarjinalan, pada orang-orang lemah.[3]   
2.2.                     Pengaruh Marxisme di Amerika Latin    
Bagi Marx agama adalah hanya sekedar imajinasi dari ketidak berdayaan manusia terhadap struktur basis. Struktur basis adalah ekonomi yang mencangkup seluruh proses ekonomi baik produksi, konsumsi, persaingan ekonomi, dan sebagainya. Marx mengkritisi filsafat Hegel yang mengatakan bahwa : ‘apa yang berbudi sungguh-sungguh ada, dan apa yang sungguh-sungguh ada adalah berbudi’. Roh Absolut yang mengerakkan segala tindakan manusia dan alam semesta, kemudian Marx membalikkannya, dengan mengatakan bahwa manusialah penggerak sejarah sesungguhnya, Roh Absolut hanyalah hasil imajinasi dari ketidak berdayaan manusia di dunia. Seorang penulis Eta Linnerman menuliskan bahwa ‘Marx menafsirkan bahwa masyarakat adalah dasar sejarah dan ekonomi dipandang sebagai dasar kehidupan masyarakat.
Agama menurut Marx hanya dijadikan sebagai alat legitimasi penindasan, keotoriterian penguasa dan menjadi alat sebagai pembodohan manusia. Umat Kristen oleh gereja selalu didoktrin akan keindahan surga jika menjalankan penderitaan tersebut dengan sukarela dan tidak melawan rezim yang sedang memimpin. Para pemuka agama memanfaatkan kedudukan yang strategis itu justru untuk melegalkan penindasan dimasa itu. Salah satunya adalah melarang kebebasan berpikir, jika kebebasan berfikir tersebut digunakan sebagai alat untuk melawan penindasan pemerintah para agamawan demi mempertahankan posisinya akan menuduh orang tersebut dengan pemberontak, kafir atau bidah dan sebagainya. Pemikiran Marx ini banyak menginspirasi para tokoh untuk memperjuangkan dan membela rakyat dari segala penindasan. Di Amerika latin misalanya  Gustavo Gutierrez yang merupakan pastur di Amerika latin mencetuskan “Teologi Pembebasan” dimana agama dijadikan alat untuk membebaskan rakyat dari para kapitalis dan kediktaktoran pemerintah.[4]                                                                        
2.3.                     Latar Belakang Teologi Pembebasan Amerika Latin
Amerika Latin adalah negara yang berlimpah kekayaan, adapun kekayaan yang terdapat di Amerika Latin yakni sumber daya alam. Namun mayoritas penduduknya terperangkap dalam kehidupan yang melarat. Kekayaan negara Amerika hanya dinikmati oleh sekelompok orang yang  menerapkan sistem Maciavelly yaitu “sekelomok yang menghalalkan segala cara”, untuk memperkaya diri dengan cara mengorbankan orang lain yaitu orang yang lemah. Negara Amerika Latin mengalami kemelaratan yang disebakan oleh kemiskinan, terbelakang, juga karena penindasan dan Kapitalisme berkuasa di Amerika Latin.
Konsep-konsep di dalam Teologi Pembebasan tidak langsung muncul dalam waktu seketika dan pergerakan teologii ini tidak terjadi begitu saja, tetapi ada penyebab-penyebab yang menjadi akar munculnya Teologi Pembebasan:
1.            Pada abad ke 16, seorang Uskup berdarah Spanyol, Bartolome, mengadakan perjuangan untuk membela kaum Indian yang menjadi korban penindasan orang-orang spanyol. Pembelaan yang begitu gigih dan yang mengesankan sehingga para pelopor memandangnya sebagai “Musa Teologi Pembebasan Amerika Latin”.
2.            Dihasilkannya dokumen Gaudiument Spes (1965) oleh Konsili Vatikan II, yang menekankan pertanggungjawaban khusus orang-orang Kristen terhadap mereka yang miskin dan dirundung penderitaan.
3.            Amerika Latin adalah kaya dengan sumber daya alam, namun masyarakatnya miskin. Upaya untuk mengatasi kemelaratan di Amerika Latin telah diupayakan oleh banyak pihak, namun tidak membuahkan hasil. Negara-Negara di Amerika Latin mengalami kemelaratan akibat keterbelakangan, Kapitalisme[5] berkuasa.[6]
Pada dasawarsa 1960-an sejumlah perkembangan menggerakkan suatu reorientasi politik-agama yang mulai memperhatikan ketimpangan-ketimpangan orde lama. Arus pertama muncul dari sejumlah teolog yang dipengaruhi oleh teolog Eropa seperti Moltmann dan Metz. Mengikuti teladan Las Casas, mereka mulai memikirkan ulang tugas berteologi, peranan kekristenan dan implikasi-implikasi injil dalam realitas sosial-politik Amerika Latin. Arus kedua muncul pada tahun1968 ketika gereja Katolik mendukung pergeseran besar dalam kebijaksanaanya, dan menempuh jalan yang akhirnya menyebapkan perpisahan dengan golongaan kaya dan militer. Kebijakan ini melibatkan apa yang disebut oleh banyak tokoh geraja sebagai “sengaja berpihak dengan kaum miskin”[7]
Masalah keadilan itu sentral dalam dalam refleksi teologi teologi Pembebasan, karena titik tolak refleksinya adalah situasi kongkret yang ditandai oleh kemiskinan dan ketidakadilan. Reaksi-reaksi dari umat direkam dan direfleksikan dalam terang iman. Para teolog pembebasan terlibat dalam perjuangan-perjuanga demi keadilan yang sedang terjadi dalam banyak negara Amerika Latin. [8]
Akar Teologi Pembebasan Ameriaka Latin dapat dietelusuri sejak abad ke 16. Pada masa itu masyarakat terdiri dari empat kelompok atau kelas utama.
·        Golongan berkuasa yang terdiri dari beberapa keluarga kaya yang memiliki bagian besar tanah dan mengendalikan pemanfaatanya.
·        Golongan yang kedua adalah pihak militer yang sering bekerja sama denga orang kaya.
·        Golongan ketiga adalah gereja yang pada saat itu berpihak atau bergabung dengan keluarga yang kaya atau militer.
·        Golongan para petani yang miskin.[9]
Teologi pembebasan adalah teologi yang timbul di Amerika Latin pada akhir tahun 60-an abad ini. akarnya dapat dilihat dalam konsili vatikan II (1962-1965), yang menjadi dorongan baru untuk teologi Katolik Amerika Latin. Berbeda dari teologi pembangunan (Development Theology) dari Amerika Utara. Dan sebagai reaksi atas teologi ini, teologi pembebasan menolak peranan dominan yang diberikan kepada teknologi mutakhir Barat dan perkembangan rakyat Amerika Latin. Diusahakan untuk merumuskan suatu teologi “akar rumput” (grassroot-theology) sesuai dengan keadaan dan kebutuhan rakyat miskin Amerika Latin.[10]
2.4.                     Teologi  Pembebasan Amerika Latin
Di Amerika Latin, teologi Pembebasan lahir dan dibesarkan di lingkungan dunia pendatang kulit putih yang beragama Katolik, yang mengabarkan realitas lain berupa penduduk kulit hitam dan Indian serta agama rakyat di sana yang biasanya di cap sebagai agama singkritis yang membodohkan serta menina-bobokkan rakyak dalam alam penindasan.[11]  Golongan berkuasa (oligarki) terdiri dari beberapa keluarga kaya yang memiliki bagian besar tanah dan mengendalikan pemanfaatanya. Di El Salvador, misalnya, empat belas keluarga yang merupakan sekitar 2% dari penduduk, konon menguasai 60 % tanahnya. Pemilikan tanah oleh oligarki ini umumnya di dukung dan sering dimungkinkan oleh militer. Semenjak masa penyerbuan Spanyol pada abad ke-16, kekuatan militer telah digunakan untuk memperoleh, dengan membagi paksa, dan mempertahankan sumber-sumber alam yang telah mejadi milik dan sandaran kekayaan kedudukan sosial kelas atas. Malangnya, gereja Katolik telah berpihak atau dikaitkan dengan pihak yang berkuasa itu. Bartolome de La Casas memprotes raja Spanyol tentang kejahatan yang dihubungkan dengan penaklukan Mexico, namun ia tidak mampu mempengaruhi raja maupun gereja. Bentuk awal teologi pembebasan yang dikemukakan La Casas tertunda pelaksanaanya selama lebih dari empat abad. Gereja bergabung dengan golongan kaya dan militer. Sruktur sosial menyatakan bahwa para petani miskin (campesionos) yang berjumlah 85 % dari penduduk. Hampir tidak ada hak hukum yang melindungi mereka dari penindasan, sehingga para petani yang kebanyakan tidak memiliki tanah ini menjadi tergantung kepada oligarki, takud terhadap militer dan terasing dari gereja.[12] Di bidang keagamaan, terjadi pergeseran pandangan teologis di kalangan Gereja Katolik di seantero Amerika Latin. Disebutkan dalam buku Teologi Pembebasan, selama berabad-abad gereja di Amerika Latin menganut pemahaman teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional. Para uskup Amerika Latin menilai, cara berteologi Barat telah menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari masaah-masalah kongkret. Gereja-gereja penganut teologi Barat, tuding mereka, hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian. Menurut mereka, gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Namun keterlibatan rakyat hanya mungkin dibangkitkan bila mereka memiliki harapan untuk mengubah sistem yang menindas mereka. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku. Kesadaran baru, kata para uskup, hanya dapat timbul bila rakyat bertambah pandai.[13]
Di Amerika Latin, perbudakan, eksploitasi dan Kristianitas datang dengan saling bergandengan, kristianitas datang dengan para penjajah dan merupakan agama mereka. Teologi pembebasan tidak hanya menyapa permasalahan-permasalahan filosofis untuk mengubah rakyat, tetapi juga masalah sosiologis untuk mengubah masyarakat. Para teolognya mengubah masyarakat dan menyelamatkan jiwa. Ini merupakan gabungan antara teologi politik dan komunitas akar rumput, yang menggunakan ide-ide Marxis tertentu. Bersama Marxis, teologi ini menyadari bahwa lingkungan dapat membentuk manusia, manusia dapat mengubah lingkungan, dan membela kaum miskin. Teologi ini melihat Yesus sebagai manusia miskin, disamakan dengan hamba yang menderita yang ditulis dalam nubuat Yesaya.[14]
Gerakan teologi pembebasan bisa dikatakan sebagai gerakan kebudayaan Amerika Latin yang mulai menyadari adanya dominasi pemikira Barat dan karena itu ingin membebaskan diri darinya dengan menciptakan konsep-konsep sendiri. Karena itu, gerakan teologi pembebasan tidak hanya dilihat sebagai arus balik dari ortodoksi me ortopraksis, tetapi juga sebagai upaya pembebasan dari suatu paradigma yang dipandang membelenggu kehidupan, gerakan kebudayaan itu juga dalam bidang sastra dengan tokoh-tokohnya seperti Octavio Paz, Gabriel Grazia Marquez, termasuk Derek Walcott yang baru saja meraih nobel di bidang sastra tahun 1992.[15]
Keadaan rakyat miskin dilihat dalam terang Injil dan penyelamatan dipahami sebagai pembebasan dari penindas dan peningkatan taraf hidup. Dalam menganalisa keadaan kaum miskin sering dipergunakan metode analisa Marxis, akan tetapi jalan yang ditunjuk oleh Marx untuk mengatasi penindasan proletariat tidak diikuti. Pengharapan kaum miskin diambil dari eskatologi Kristen. Untuk itu alkitab, terutama Injil-Injil, dibaca dengan mata orang-orang miskin. Injil Kerajaan Allah, diberitakan oleh Yesus, dilihat sebagai berita yang khusus ditujukan kepada kaum miskin. Bukan keselamatan rohani saja yang diberikan didalamnya, seperti dikatakan kaum teologi burjuis, tetapi juga pembebasan dari penindasan dan kemiskinan, demikian pengalaman kaum miskin menjadi kunci untuk membaca Alkitab sebagai beberita pembebasan. Berita pembebasan menjadi pegangan orang-orang miskin untuk saling menguatkan dan untuk bertindak bersama untuk mencari pembebasan dari penindas yang dialami masyarakat. Dalam jemaat-jemaat orang-orang miskin yang dibentuk dan biasanya disebut “persekutuan-persekutuan basis”, spritualitas dan aksi di hubungkan secara erat.[16]

2.5.                     Tokoh-Tokoh Pembebasan Amerika Latin
2.5.1.  Gustavo Guterrez
Gustavo Gutterrez, asal Peru, adalah orang pertama yang merangkum paham Teologi Pembebasan lewat bukunya, Teologia de la Liberacion, 1971. Buku ini memicu diskusi yang lebih rinci tentang paham Teologi Pembebasan. Gustavo Guterrez Merino, O.P (Lahir 8 Juni 1928 di Lima), adalah seorang teolog Perudan imam dominikan yang dianggap oleh pendiri teologi pemebebasan. Ia adalah anggota Akademi Bahasa Peru, dan ada tahun 1993 ia dihadiahi Legium Kehormatan oleh pemerintahan Prancis untuk karyanya yang tak kenal lelah. Dalam teologi pembebasan dia mengatakan bahwa di dalam berteologi Kristen yang nantinya menjadi teologi pembebasan bahwa di dalam melakukan itu semua kita harus melakukan interaksi dengan Marxisme karna ini yang merupakan pendorong terjadinya bentuk teologi pembebasan. Di dalam hal ini Gustavo Guiterrez menggumuli masalah di dalam teologi pembebasan adalah hubungan antara teologi keselamatan Kristen dan pembebasan manusia yang terjadi dalam dunia ini, yang menyebapkan ketidakjelasan diantara kedua ini di dalam konsep pembebasanb dalam Alkitabiah, keselamatan dan pertobatan dalam konteks masalah sosial yang terjadi, sehingga bentuk politisasi yang ada mempengaruhi orang-orang yang khususnya Kristen bukan datang untuk menolong tapi untuk menguasai.[17] Menurut Guiterrez bahwa tujuan pembebasan yaitu membebaskan orang-orang miskin atau tertindas yang meliputi pembebasan secara politik (struktur sosial yang tidak adil) dan juga secara personal yang artinya mendapat kebebasan secara utuh.[18]
Menurut Guiterrez pelayanan sosial melalui iman harus dibuktikan secara nyata oleh orang Kristen dalam hidupnya, diantaranya;
·     Kasih yaitu penyerahan diri kepada Yesus Kristus dan kemudian orang lain.
·     Spitualitas yang memunculkan semacam kegiatan dalam hal melakukan pembebasan bagi orang yang tertindas.
·Gereja mengambil bagian dalam pergolakan sosial pada jamanya dengan cara melayani.
·  Melakukan suatu analisa zaman sehingga menghasilkan suatu bentuk pelayanan atau bentuk pengembalaan.
·Dan eskhatologi yang memahami peran gereja dalam kehidupan manusia.[19]
2.5.2.  Helder Camara
Helder Camara adalah uskup Olinda dan Recife, Ia dianggap salah satu tokoh Katolik yang besar pada abad ke 20. Camara adalah perintis penting bagi teologi pembebasan Amerika Latin. Namun teologinya terlalu biasa untk diidentifikasikan dengan teologi dari para teolog pembebasan yang belakangan. Ia mempengaruhi gerakan ini melalui komitmenya terhadap kaum miskin yang tidak kenal kompromi. Ia disingkirkan dari posisinya oleh Paus Yohannes Paulus II. Camara terkenal karena ucapanya, “ketika saya memberikan makanan kepada orang miskin, mereka menyebut saya santo. Ketika saya bertanya mengapa orang miskin tidak mempunyai makanan, mereka menyebut saya Komunis”
2.5.3.  Leonardo Boof
Leonardo Boof dilahirkan pada 14 Desember 1938 di Concordia, Estado de Santa Catarina, Brazil, ia adalah seorang teolog, filsuf dan penulis, yang terkenal karena ia aktif mendukung perjuangan bagi hak-hak kaum miskin dan mereka yang tersisihkan. Ia adalah salah satu pendiri Teologi Pembebasan, bersama-sama dengan Gustavo Guiterrez. Ia hadir dalam refleksi-refleksi pertama yang berusaha mengartikulasikan kemarahan terhadap penderitaan dan marginalisasi dengan diskursus iman yang memberikan pengharapan, yang kemudian menghadirkan Teologi Pembebasan. Boff adalah tokoh yang kontroversial di lingkungan gereja Khatolik bukan hanya karna dukunganya terhadap razim-razim sayap kiri di masa lampau, tetapi juga karena dia dituduh mendukung kaum Homoseksual. Boff adalah seorang yang gigih membela perjuangan untuk hak-hak asasi manusia, menolong merumuskan perspektif Amerika Latin yang baru.[20]  Boff mengatakan bahwa bukan hanya orang miskin yang tertindas harus dibebaskan, tetapi semua umat manusia, kaya, miskin, karena mereka semua tertindas oleh sebuah paradigma yang memperbudak kita semua; Penyalahgunaan bumi, konsumtivisme, pengabaian yang lain.  Ia mengawali dari keterpihakan orang miskin yaitu, belarasa ( solidaritas) dan prinsip yang bertanggung jawab. Sikap balarasa ditunjukkan Yesus dalam hidupnya. Yesus datang kepada mereka yang miskin, didiskriminasi, orang-orang yang terpinggirkan dan dianggap najis sekalipun. Yesus menunjukkan solidaritasnya dengan semua orang yang tertindas dan tersingkir. Dia berada bersama dengan orang yang lemah, pelacur, orang-orang Samaria, pemungut cukai, yang cacat fisik dan sebagainya. Ini menunjukkan keterpihakan-Nya dan solidaritas-Nya kepada mereka yang dikucilkan. Dan Yesus menunjukkan solidaritasnya dalam bentuk Salib. Salib dianggap sebagai misteri kebebasan manusia dari penindasan.[21]
Semangat pembebasan lahir mesti berakar dari iman dan memanifestasikanya sebagai iman pembebasan. Pembebasan yang dimaksud adalah pembebasan yang bersifat penenuh dan menyeluruh, yakni dari penyakit, kematian, dan dosa. Gereja seharusnya aktif dalam membantu orang miskin menggunakan sumber-sumber daya orang miskin dalam melakukan perubahan. Gereja harus bergabung dengan pergumulan-pergumulan orang miskin dan membentuk komunitas-komunitas basis dimana iman hidup dan bersemangat dalam dimensi sosial dan pembebasan. Gereja harus mampu menganalisa realitas sosial, memiliki kemampuan hermeneutik dari sudut pandang iman dan tindakan pastoral, sehingga akan menolong orang-orang yang tertindas menjadi para pembebas bagi diri mereka sendiri.[22]
2.5.4.  Jose Miggue- Bonino
Dan Jose Miguez-Bonino, seorang Argentina, memberikan sumbangan utama untuk kalangan Protestan dengan bukungya Doing Theology in a Revolutionary Situation (1975).[23] Dia berteologi dari sudut pandang orang yang mengikut Yesus segai Tuhan dan Juruselamat.  Bonimo berpendapat bahwa para teologi tidaklah cukup hanya dengan teori teologinya saja tetapi harus memperhatikan realitas-realitas yang terjadi di Amerika Latin dan yang paling penting adalah berpartisipasi langsung dan menganggapi “realitas baru” yang terjadi.[24]
2.5.5.  Jon Sabrino
Sobrino yang dikenal publik sebagai teolog pembebasan ini memaknai teologi dengan cara berbeda. Tidak hanya melihat teologi dari aspek sistematikanya saja, atau kerumitan teori-teori saja.  Tapi juga dari aspek praksis yang terekspresi di ranah sosial.  Bagi Sobrino, teologi perlu didasarkan pada gagasan ideal praksis, bahwa percaya pada Allah juga berarti bersolidaritas kepada kaum tertindas. Teolog yang telah mengenyam pendidikan filsafat di St. Louis, USA dan di Frankfurt, Jerman ini percaya, bahwa Allah sesungguhnya hadir dalam sejarah kehidupan manusia sebagai Allah yang menderita. Oleh karena itu memaknai keberimanan kepada Tuhan Yesus Kristus di dalamnya haruslah terkandung unsur komitmen dan pengakuan atas otoritas Allah dalam praktek sosial.
Menurut Sobrino, Yesus adalah gambar sempurna dari teologi Allah yang menderita.  Allah yang berkenan menderita menjadi dan bersama manusia. Melalui-Nya manusia dapat merasakan karya dan kehadiran Allah dalam penderitaan yang dialami.   Teologi yang diusung Sobrino sering disebut sebagai teologi“dari bawah”. Teologi seperti ini umumnya dimulai dari tafsir atas teks biblika untuk disarikan menjadi penyataan dogmatis mengenai gereja, dan fokus pada pencarian sejarah Yesus untuk menyediakan aksi kekristenan.[25]
III.           Refleksi Teologis
Kesejahteraan yang merata adalah dambaan setiap warga negara di dunia ini, bebas dari kemiskinan, kebodohan, penindasan perang dan kekerasan sosial adalah cita-cita kita bersama. Demikian juga lah yang didambakan Amerika Latin pada saat Kapitalisme dan penindasan terjadi di Negara mereka.
Dalam kitab Lukas 4: 18-19 “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab itu Ia mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia mengutus Aku memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan pengelihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun tahun rahmat Tuhan telah datang”
Kita harus belajar dari sosok Yesus yang tidak suka dengan penindasan. Kasihilah sesema manusia adalah hukum yang terutama dalam iman kristen kita. Jika kita menjadi orang kaya janganlah menjadi perampas hak orang lain. Jika kita pengusaha janganlah kita menjadi pengusaha yang serakah. Janganlah kiranya kita menari di atas penderitaan orang lain. Dan jika kita adalah mahasiswa teologi beranilah berkata yang bebar demi keadilan. Janganlah kiranya kita nyaman dalam keterpurukan, supaya kita dapat berperanaktif dalam memberikan kebebasan bagi orang-orang yang tertindas. Orang miskin dan orang kaya adalah sama di mata Tuhan, Tuhan juga menyayangi mereka seperti kita. Jika kita sukses jadilah saluran berkat bagi mereka. Banyak suara mintak tolong di dunia ini tetapi pembebas yang kurang. Semoga kita bisa menjadi pembebas apa yang dilakukan oleh Gustavo Gueterrez dan Boff.
IV.           Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Amerika Latin sebagai negara-negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah tetapi tidak bisa merasakan hasih dari tanah mereka. Walaupun negara Amerika Latin masyarakatnya hampir sebagin besar terpuruk dalam kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Gereja juga tidak dapat memberikan suaranya membela kaum yang lemah. Kaum kapitalis dan kaum militer seakan menjadi penentu perkembangan bangsa tersebut. Seiring berjalanya waktu maka muncul orang-orang yang merasa terbeban dalam kesengsaraan negara tersebut. Mereka berjuang untuk membebaskan hak-hak mereka yang dirampas. Adapun tokoh besar yang berperan aktif dalam teologi pembebasan adalah, Guiterrez, Camara, Boff, Bonino, dan Sabrino.
V.               Daftar Pustaka
Artanto Widi, Menjadi Gereja Misioner, Jakarta: BPK-GM, 1997
Cambell Jhon, Mengupayakan Misi Geraja Yang Kontekstual, Jakarta: Studi Institut Misiologi Persetia, 1995
Hesselgrave David J. dan Eduard Rommen, Kontekstualisasi, Jakarta; BPK-GM, 1999
Jonge Christiaan De,  Menuju Keesaan Gereja, Jakarta; BPK-GM, 2006
Lowy Michael, Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Balai Pustaka Offset, 2000
Pustaka Teologis, Teologi Dan Praksis Komunitas Post Modern, Yogyakarta; Kanisius, 1994
Simamora Ranto, Misi Kemanusiaan dan Globalisasi, Bandung; Ink Media, 2006
singgih E. Gerrit, Mengantivasi Masa Depan, Jakarta; BPK-GM, 2002
Smith Linda & William Reaper, Ide Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang, Yogyakarta; Kanisius, 2000
Wartaya Y. -Winangun, SJ, Tanah sumber Nilai Hidup, Yogyakarta; Kanisius, 2008
Wessels Anton, Memandang Yesus, Jakarta; BPK-GM, 1999
Sumber-Sumber Lain
www. Yahoo.Com, Para Tokoh Teologi Pembebasan, 04 November 2015





[1] Michael Lowy, Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Balai Pustaka Offset, 2000), 26
[2] Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, (Jakarta: BPK-GM, 1997), 69
[3] Ranto Simamora, Misi Kemanusiaan dan Globalisasi, (Bandung; Ink Media, 2006)
[5] Kaum Kapitalis (Kaum Bermodal, golongan orang yang sangat kaya, yang menggunakan kekayaanya untuk menguasai kaum lemah) dan kaum yang menindas rakyat dan bersenang-senang di atas penderitaan kaum lemah. Atau Kapitalis dapat juga diartikan sebagai sistem ekonomi yang modalnya bersumber pada pribadi, kelompok atau perusahaan swasta. Atau dalam arti sempit bisa dikatakan bahwa sistem perekonomian dipinpin oleh pemilik modal. (Bnd. Stevrulla Pil Indra Lumintan, Teologi Abu-Abu: Pluralisme Agama, 398)
[6] Jhon Cambell, Mengupayakan Misi Geraja Yang Kontekstual, (Jakarta: Studi Institut Misiologi Persetia, 1995), 71
[7] David J. Hesselgrave dan Eduard Rommen, Kontekstualisasi, (Jakarta; BPK-GM, 1999), 112
[8] Y. Wartaya-Winangun, SJ, Tanah sumber Nilai Hidup, (Yogyakarta; Kanisius, 2008), 132
[9] David J. Hesselgrave dan Eduard Rommen, Kontekstualisasi, 111
[10] Christiaan De Jonge,  Menuju Keesaan Gereja, (Jakarta; BPK-GM, 2006), 152
[11] E. Gerrit singgih, Mengantivasi Masa Depan, (Jakarta; BPK-GM, 2002), 22-23
[12] David J. Hesselgrave dan Eduard Rommen, Kontekstualisasi, 112
[14] Linda Smith & William Reaper, Ide Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang, (Yogyakarta; Kanisius, 2000), 173
[15] Pustaka Teologis, Teologi Dan Praksis Komunitas Post Modern, (Yogyakarta; Kanisius, 1994)
[16] Christiaan De Jonge,  Menuju Keesaan Gereja, 152
[17] David J. Hesselgrave dan Eduard Rommen, Kontekstualisasi, 111
[18] David J. Hesselgrave dan Eduard Rommen, Kontekstualisasi, 113
[19] David J. Hesselgrave dan Eduard Rommen, Kontekstualisasi, 117-118
[20] www. Yahoo.Com, Para Tokoh Teologi Pembebasan, 04 November 2015
[21] Anton Wessels, Memandang Yesus, (Jakarta; BPK-GM, 1999), 69
[22] Anton Wessels, Memandang Yesus, 109-111
[23] David J. Hesselgrave dan Eduard Rommen,  Kontekstualisasi, 112
                 [24] David J. Hesselgrave dan Eduard Rommen,  Kontekstualisasi, 117-118